Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Memahami Peran Budaya Pesantren



    Oleh: Abdurrahman Wahid

    Dengan adanya berbagai jenis lembaga pendidikan, orang sering melihat pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Ada juga yang memperlakukannya sebagai entitas politik, karena para kyai yang memimpin pondok pesantren sering sekali memiliki pengaruh sangat kuat di masyarakat. Ia menjadi “panutan” bagi masyarakat yang tunduk padanya. Sangat menarik melihat peranan politik yang sekarang dijalankan secara bertentangan antara para kyai dari pondok pesantren yang berbeda-beda. Peranan ini akan menunjukkan “model” yang akan diikuti oleh para pemilih. Memang ada perbedaan ‘aspirasi’ politik antara mereka. Ada yang sekedar menggunakan pengaruh yang mereka miliki untuk kepentingan “mendekat” kepada para pejabat tertentu. Namun ada pula yang lebih mementingkan kemaslahatan umat dan memelihata kepentingan masyarakat lebih luas.

    Namun jarang sekali, orang melihat pondok pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari peranan ini, itulah sebenamya salah satu fungsi pondok pesantren yang untuk sementara “diredupkan” oleh peranan politiknya. Dari hal itu timbul pertanyaan, dapatkah pondok pesantren, setelah melalui pertentangan dahsyat sebagai akibat pelaksanaan peranan politik itu, akan utuh kembali (minimal sebagai lembaga yang membawakan peranan budaya) di masa-masa akan datang? Dapatkah Pondok Pesantren mempertahankan “kemumian” yang dimilikinya?

    Penulis berpendapat kalau memang pondok pesantren mengalami proses politisasi sedemikian jauh sehingga kehilangan fungsi-fungsi lainnya kecuali fungsi politik, maka “hak hidup” yang dimilikinya akan hilang dengan sendirinya, karena ia akan mementingkan “hubungan baik” dengan sistem kekuasaan yang ada.

    Dalam hal ini, penulis teringat akan peranan kyai-kyai pondok pesantren yang diuraikan oleh Hiroko Horikoshi dalam disertasinya yang didalamnya membahas peran mendiang Ajengan/Kyai Yusuf Tojiri, yang mendirikan dan memimpin Pondok Pesantren Cipari (Wanaraja, Garut). Dalam disertasinya yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia itu, Horikoshi berbicara mengenai “peranan budaya” besan (alm.) Kyai Anwar Musaddad itu. Dalam tulisan itu, Horikoshi menunjukkan “kebalikan” dari teori “makelar budaya” (cultural broker) Clifford Geertz dalam proses pembangunan. Kesimpulan ini didapatkan Horikoshi melalui kajian empirik yang mempunyai nilai tersendiri setelah tinggal sekian lama tinggal di pondok pesantren tersebut
    Menurut Clifford Geertz, peranan “makelar budaya” itu menunjukkan bahwa para kyai berperan bagaikan sebuah dam (bendungan) yang “menampung” begitu banyak manivestasi (kehadiran) budaya baru, dengan melepas sebagian dari manivestasi budaya baru tersebut. Cara yang digunakan adalah melalui proses memilih, mana yang dilepas masyarakat dan mana yang tidak. Geertz melihat dengan “banjimya” modemitas budaya maka bendungan tinggi itu akan terkalahkan, karena demikian banyak hal-hal di luar kendali pondok pesantren, akhimya budaya itu langsung “ditelan” masyarakat. Kebuntuan melakukan peran “makelar budaya” itu pada akhimya akan “mematikan” pemeran budaya itu juga. Namun Horikoshi menunjukkan, bahwa kyai bukanlah bendungan tinggi yang memiliki peranan pasif melainkan justru menjadi “agen pembaharuan” dengan memilih sendiri mana yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat dan mana yang tidak.

    Mudahnya untuk melihat peranan budaya itu antara lain dalam “perencanan arsitektural” pondok-pondok pesantren pada masa lampau. Umpamanya saja, apa yang terlihat di Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif di Denanyar Jombang. Pondok pesantren yang dahulu didirikan pada awal abad ke-20 oleh almarhum KH. M. Bisri Syansuri tersebut, dimulai dengan pintu masuk melalui sebuah jalan tidak beraspal dari arah Timur menuju ke barat, berdiri sebuah Masjid yang berada di tengah tanah kosong (plaza). Di sebelah selatan, berdiri kamar-kamar para santri. Mulanya di sebelah utara plaza itu, terdapat rumah tempat tinggal sang kyai, di kemudian hari pondok pesantren putri dan gedung-gedung sekolah juga didirikan di sebelah Utara (di kanan-kiri dan di belakang tempat tinggal kyai).

    Dengan demikian, jelaslah bahwa pendiri pondok pesantren tersebut ‘secara aktif’ mengambil perencanaan arsitektumya dari simbol budaya Jawa yang berlandaskan pada pagelaran wayang. Para santri adalah salikun (aspiran) yang sedang berada diperjalanan, menuju ke arah “kesempumaan pandangan” yang dibawakan oleh moralitas/akhlak tertentu. Kata salikun dalam bahasa Arab, menunjukkan fungsi mereka yang mencari “kesempumaan pandangan” itu. Walaupun mereka kelihatannya hanya menuntut ilmu-ilmu keagamaan dalam sebutan bahasa Pali dari jaman kaum Buddha di negeri ini dahulu disebut dengan istilah santri artinya mereka yang “menguasai” kitab-kitab suci. Karena proses belajar dan mengajar di lingkungan pondok pesantren bukanlah sekedar “menguasai” ilmu-ilmu keagamaan melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup, dan penentuan perilaku para santri itu nantinya setelah “kembali” dari Pondok Pesantren ke dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya para kyai adalah mereka yang telah memiliki “kesempumaan pandangan” tersebut (washilun). Dalam pengertian tashawuf, masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah antara keduanya merupakan tempat “pertempuran moral” berlangsung antara para salikun, yang akan dirubah perilakunya, oleh washilun.

    Dalam legenda perwayangan kaum Pandawa dan Kurawa, bukanlah cowboy melawan bandit, dalam pengertian yang baik melawan yang jahat menurut cerita-cerita pihak Barat yang dibuat dalam sekian banyak film. Filosofi cerita itu mereka adalah orang yang mencari kebenaran dan orang yang telah sampai kepada kebenaran itu sendiri. Tema “pencarian kebenaran” oleh kedua belah pihak, yaitu Pandawa dan Kurawa, dalam hal ini santri dan kyai, merupakan dua belah sisi yang bagaimanapun juga “berwajah budaya”.

    *****
    Dengan mengetahui peranan budaya yang dilakukan pondok pesantren itu, kita sendiri sebagai anggota masyarakat mendapatkan kekayaan pengetahuan tentang fungsi pondok pesantren. Sudah tentu, banyak “wajah-wajah sampingan” dari peranan itu, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam tulisan ini. Namun, jika peranan utama ini “hilang” dari kehidupan masyarakat, kita juga yang akan mengalami kerugian. Perkecualiannya adalah jika ada penggantian fungsi itu oleh “peranan-peranan baru” yang tentu saja tidak dapat “ditukar” oleh sekedar keakraban dengan para penjabat dan penguasa. Peranan yang semula berdimensi budaya, tidak dapat digantikan dengan peranan terakhir yang materialistik.

    Dengan “mengenal” peranan pondok pesantren seperti di sebut di atas, kita sampai kepada sebuah kesimpulan yang sangat penting. Akan kita biarkan sajalah “penggantian” peranan budaya pondok pesantren seperti diuraikan di atas, oleh peranan materialistik dari sebuah pendekatan politis? Tentu saja jawabnya tidak, karenanya kita justru harus memperkuat peranan budaya itu dengan memperkenalkan bentuk-bentuk “budaya” baru yang hingga saat ini belum dikenal oleh warga pondok pesantren sendiri. Contoh dari proses itu adalah munculnya bentuk resmi (formalisasi) penggunaan kata-kata bahasa Arab untuk nama pondok pesantren. Kalau dahulu ponpes dikenal berdasarkan nama daerahnya seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng (Jombang), dan Krapyak (Yogyakarta) sekarang menjadi Pondok Pesantren Salafiyah dan Al-Munawwir. Bukankah penggunaan bahasa Arab ini tidak mengganggu proses budaya yang seharusnya berlangsung. Memang mudah mengatakan perubahan, tapi yang lebih susah adalah melaksanakan, bukan?


    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728