Header Ads

ad728
  • Breaking News

    NU: Konservatifisme dan Tradisionalisme

    Oleh: Abdurrahman Wahid

    Dalam literatur yang banyak ditulis orang, NU disebutkan sebagai organisasi Islam kolot/konservatif. Sebutan ini melekat dengan mudah pada organisasi tersebut, antara lain karena hal-hal berikut: para pengikutnya kebanyakan memang terdiri dari “orang awam” yang masih mengikuti para ulama, tanpa mempertanyakan keabsahan apa yang mereka buat. Ini benar-benar mencerminkan sikap konservatif dalam hidup. Di samping itu, NU sendiri menyatakan diri terikat kepada salah satu empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Tiap macam gerakan dalam lingkungannya, baik itu tarekat maupun lain-lainnya, harus ada pengakuan (imprimatur) dari kalangan Ulama, baru kemudia ia diakui (muktabarah). Pengambilan keputusan dalam setiap musyawarah, selalu menggunakan rujukan karya-karya Ulama masa dahulu. Karya ulama mutakhir, seperti tafsir-tafsir al-Maraghy, tidak dapat diterima oleh para peserta musyawarah tersebut. Demikian pula, pakaian yang dikenakan mereka, kesenangan mereka membaca shalawat dan maddah (sajak-sajak puja bagi Nabi), disertai kenduri dalam bermacam-macam ritus tradisional (seperti manakiban), menunjuk kepada apa yang sering ditulis orang sebagai ciri-ciri konservatifisme. Para Ulama seperti penduduk Tiongkok, yang bagi kepentingan tanah air menerima begitu saja pengorbanan ratusan ribu jiwa, lagi-lagi mereferensi NU sebagai konservatif. Jadi seperti demikiankah NU, yang dinilai sebagai gerakan Islam kolot? Bagi kaum Ulama yang dianggap demikian, hal itu tidak menjadi persoalan.

    Padahal dalam NU tidak sepenuhnya konservatifisme dijalankan. Banyak sekali contoh yang dapat dikemukakan untuk mencari identitas NU yang sebenamya. Kalau ditanyakan pada seorang pemerhati studi ke-Islaman, tentu ‘identitas’ itu dilihat pada kuatnya NU berpegang pada “kurikulum” ilmu-ilmu keagamaan Islam, seperti yang dirumuskan Imam al-Sayuthi, kira-kira 500 tahun yang lalu, dalam “Itmam al-dirayah. Keempat belas macam bidang studi yang diliputnya, merupakan kurikulum dasar yang diajarkan oleh pesantren-pesantren kita.

    Walaupun bidang-bidang itu juga diajarkan di UIN (Universitas Islam Negeri), tapi cara penanganannya sangatlah berbeda. Dalam pesantren, teks-teks(al-quthub al-muqarrarah) dipakai sebagai referensi yang sudah benar, karena itu tidak diperdebatkan lagi tentang isinya. Sebagai sesuatu yang dianggap benar, teks-teks itu diterima tanpa ada perbedaan paham sama sekali. Kalau toh ada sengketa, maka yang terjadi hanyalah perbedaan paham diantara para penulis (mua’llif) nya. Kebenaran pendapat yang saling berbeda itu, tidaklah diragukan lagi. Ini tentu berbeda dari kajian Islam di Perguruan Tinggi yang di dalamnya orang memperdebatkan kebenaran sebuah pendapat dan keabsahan sebuah pandangan. Dengan demikian, antara seorang santri dan seorang mahasiswa akan senantiasa ada perbedaan pandangan dan perlakuan atas pendapat-pendapat (aqwal) yang ada dalam teks-teks/ kitab-kitab yang digunakannya antara kedua lembaga pendidikan Islam itu. Bagaimanapun juga, keduanya menggunakan karya-karya masa lampau sebagai referensi, walaupun berbeda cara penggunaannya.

    *****

    Dalam kenyataan, pandangan yang menganggap NU sebagai lingkungan konservatif sebenamya tidak dapat dipertahankan lagi. Proses sejarah memaksakan ketentuan-ketentuannya sendiri. Ini tentu dapat dipahami, karena memang siapapun yang mencoba mengerti permasalahannya, akan sampai pada kesimpulan bahwa NU adalah lingkungan yang tradisional yang “dibungkus” dalam tutup konservatifisme. Tentu saja diperlukan kesanggupan pengamat gerakan-gerakan Islam di negeri kita untuk memandang masalah ini dengan jemih. Untuk itu sejumlah dasar pengambilan pendapat haruslah dikuasai terlebih dahulu. Umpama saja, ayat kitab suci Al-Qur’an yang berbunyi: “Barang siapa membuat keputusan hukum tanpa dasar apa yang diturunkan Allah, ia adalah seorang kafir, munafiq, zalim” (man lam yahkum bima anzala-Allah fa ulaaika hum al-kafirun, munafiqun al-dhalimun). Dengan demikian, mereka dalam memutuskan fiqh (Hukum Islam), tetap harus bersumber pada teks-teks resmi (adillah naqliyyah) yang diambilkan dari al-Qur’an dan al-Hadits.

    Di samping itu, untuk membuat keputusan Hukum Agama harus berdasarkan kaidah-kaidah fiqh (al-qawaid al-fiqhiyyah, teori Hukum Islam – Ushul fiqh) dan lain-lain peralatan yang digunakan. Contoh sangat baik dapat ditunjukkan dalam hal ini, adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945. Dalam resolusi itu dikemukakan bahwa kewajiban mempertahankan Republik Indonesia (RI) (yang notabene bukan negara Islam) adalah sebuah kewajiban agama (Jihad) yang berlaku wajib bagi semua warga negara RI. Ini menunjukkan watak tradisional NU yang tidak tergoyahkan oleh sekian banyak pendirian dari berbagai kalangan. Ini kemudian dijadikan sebagai faktor pendorong sekian banyak sikap-sikap yang diambil rakyat untuk melawan tentara sekutu. Semangat seperti itulah yang memperkuat pandangan NU sebagai organisasi masyarakat.

    Sebuah kejadian lain jelas menunjuk pada tradisionalisme NU itu. Dalam Muktamar Banjarmasin tahun 1935, NU memutuskan hukum fiqh yang mempertanyakan “wajibkah kaum muslimin negeri kita untuk mempertahankan secara fisik kawasan Hindia Belanda yang diperintah oleh para penjajah yang yang tidak beragama Islam?” Muktamar pun menjawab: bahwa ada dua hal yang mewajibkan kaum muslimin mempertahankan Indonesia (dahulu Hindia Belanda). Pertama, menurut buku teks “Bughyah al-mustarsyidin” kawasan yang dahulu ditempati/ ditinggali kerajaan Islam di masa lampau, haruslah dipertahankan sebagai “tanah muslim”. Walaupun kawasan bukan Negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya kaum muslimin, maka mempertahankannya adalah sebuah keharusan. Kedua, di negeri ini kaum muslim melaksanakan ajaran agama, tanpa ada pengekangan dari negara sama sekali. Karena itu, muktamar NU tersebut memutuskan untuk mempertahankan kawasan Hindia Belanda dan itu adalah merupakan kewajiban agama.

    *****

    Karena pelaksanaan ajaran-ajaran agama tidak ada hubungannya dengan wujud negara, maka entitas yang bemama Negara Islam menjadi tidak wajib. Ini bukan pendapat seorang atau dua orang Ulama masa kini saja, melainkan sudah ada semenjak dahulu. Disertasi Dr. Nurcholish Madjid mengenai tokoh Ibn Taimiyya, menunjukkan dengan jelas bahwa umat Islam berhak memiliki ulama/pimpinan agama yang berbilang. Tegasnya, tidak diperlukan adanya lembaga yang bemama agama, dengan seorang diantara mereka menjadi pimpinan Negara. Inilah sebabnya mengapa sebenamya Islam tidak memiliki kepemimpinan yang tunggal. Umat Islam bebas menganut damengikuti pimpinan mana saja dalam masyarakat di mana. Dalam keadaan demikian, tentu saja harus ada pimpinan negara yang diikuti kepemimpinannya oleh semua warga negara. Selama pimpinan negara tidak menyimpang dari ‘ajaran-ajaran agama’ atau suatu hal yang ‘disetujui’ oleh lembaga-lembaga keagamaan, maka keputusan demi keputusan yang diambilnya mengikat semua warga negara yang dipimpinnnya.

    Di sinilah pentingnya arti seorang Mufti yang ditunjuk oleh pimpinan Negara. Mufti itulah yang harus menetapkan waktu jatuhnya Puasa, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha. Dalam mana keadaan suatu negara tidak memiliki seorang Mufti, maka fungsinya digantikan oleh menteri agama, seperti keadaan negeri kita sekarang. Memang dahulu di waktu kita masih belum memiliki pemerintahan sendiri, tepat sekali untuk mendengar penetapan-penetapan oleh organisasi agama mengenai jatuhnya permulaan Puasa, permulaan Idul Fitri dan Idul Adha. Tetapi sekarang kita sudah mempunyai Menteri Agama yang melakukan fungsi tersebut. Ini berarti, sebenamya secara teoritis tidak diperlukan lagi pendapat organisasi-organisasi keagamaan itu. Namun dalam kenyataan hal itu masih terjadi, dan masing-masing pihak merasa pendiriannya yang benar dan harus dipakai. Sampai kapan hal itu terus terjadi, penulis juga tidak tahu. Itu adalah proses politik yang memerlukan pendidikan politik untuk menyelesaikan masalahnya.

    Dalam hal ini, penulis teringat kisah tentang bagaimana “kepentingan agama” harus diletakkan pada tataran kepentingan nasional. Pada waktu ayah penulis, KH. A. Wahid Hasjim ditanya Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang, siapa yang sebaiknya mewakili bangsa Indonesia untuk merundingkan kemerdekaan dengan pihak Jepang, beliau menyatakan akan berkonsultasi dengan sang ayah, KH. M. Hasjim Asj‘ari. Hasilnya: Soekano, dan itulah yang terjadi dalam sejarah. Di sini bukti bahwa pengasuh Pondok Pesantren di Tebu Ireng, Jombang, tersebut telah melebur“kepentingan agama” dalam “kepentingan nasional”. Padahal beliau tahu Soekamo bukanlah tokoh NU, melainkan pemimpinan kaum Nasionalis. Terbukti di sini, bahwa NU bukanlah organisasi konservatif, melainkan organisasi tradisional yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Sangat indah, bukan?

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728