Lain Jaman, Lain Pendekatan
Oleh: Abdurrahman Wahid
Persoalan
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih terus dibicarakan orang. Walaupun KH.
M. Sahal Mahfudz telah berusaha sekuat-kuatnya menjelaskan, namun tidak
berhasil menenangkan masyarakat, bahkan MUI-pun menjadi sasaran guyonan
masyarakat banyak. Bahkan ada yang menyatakan, MUI adalah singkatan Majelis
Uang Indonesia .
Contoh plesetan yang tidak menggelikan ini, sebenamya menggambarkan perasaan
masyarakat yang berang terhadap ‘kesalahan’ MUI. Bahkan sikap salah seorang
ketuanya yaitu KH. Ma’ruf Amin yang menyatakan ia optimis Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) akan mendukung MUI dalam hubungan dengan melarang gerakan
Ahmadiyah Indonesia ,
dirasakan sebagai sikap arogan dan tidak bertanggung jawab.
Bukan
hanya penulis, yang melihat masalahnya dari sudut konstitusi, tapi orang-orang
seperti Dr. Azyumardi Azra, Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (yang disegani orang
karena sikapnya yang hati-hati), dan Dr. M. Syafi’i Anwar, semuanya menolak
fatwa MUI itu. Bahkan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang ada di lingkungan MUI
dihadapkan kepada reaksi marah dari para anggota Muhammadiyah sendiri, termasuk
ketuanya Din Syamsuddin. Bahkan seorang tokoh Muhammadiyah yang berpengaruh
besar seperti Prof. M Dawam Rahardjo berpendapat, menuntut supaya MUI
dibubarkan saja. Kira-kira menurut pendapat penulis, karena sikap MUI terhadap
minoritas seperti GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia ). Tokoh-tokoh yang
disebutkan di atas, memahami benar bahwa GAI dilindungi oleh konstitusi kita,
betapapun kita berbeda pendirian dengan mereka.
Sedangkan
argumentasi orang-orang yang tergabung dalam usaha pelarangan atau yang
mendukung argumentasi untuk melarang GAI itu, adalah bahwa Saudi Arabia
melarangnya. Namun dilupakan Saudi Arabia
adalah sebuah negara Islam, sedangkan Republik Indonesia bukan. Kita adalah sebuah
negara nasional yang berlandaskan Pancasila, karena itu dapat menerima
perbedaan apapun dalam faham kenegaraan (kecuali komunisme dalam pandangan
sejumlah orang). Jika kita larang GAI, karena berbeda dari pendapat doktriner
sebagian besar kaum muslimin di negeri ini, konsekuensinya kita juga harus
melarang pandangan-pandangan kaum Kristen dan Katholik, Buddha, Hindu dan lain-lain.
Bukankah keyakinan mereka juga tidak sama dengan keyakinan keimanan mayoritas
kaum muslimin?
Maka
dapat dipahami ‘kemarahan’ orang terhadap fatwa MUI itu. Karena bukannya
menolong pemerintah untuk mencarikan jawaban terhadap keadaan yang
‘mengharuskan’ pencarian solusi bagi krisis multidimensi yang sedang kita
hadapi, atau setidak-tidaknya menahan diri dari setiap tindakan yang
memperburuk hubungan antara kita, fatwa MUI itu justru membawa masalah baru
dalam hubungan antara berbagai agama di negeri kita. Pandangan serba sempit
yang dimiliki MUI itu akan merugikan seluruh komponen bangsa.
Kita
harus saling mengingatkan, bahwa kita memiliki kewajiban agar apapun perbedaan
pendirian kita, kita harus hidup bersama dalam satu ikatan. Bahwa perbedaan
demi perbedaan yang ada, seharusnya mendorong munculnya sikap yang arif
bijaksana, bukannya sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi semakin buruk,
seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yang begitu keras.
Memang
pada akhir-akhir ini kita melihat bahwa di lingkungan gerakan-gerakan Islam
mulai muncul ‘hal-hal tidak sedap’, seperti munculnya sikap lebih keras di
kalangan kaum muslimin, untuk memunculkan ‘kelebihan’ ajaran-ajaran agama Islam
di atas berbagai ajaran agama-agama lain. Sebenamya unutk memenuhi ‘kebutuhan’
akan hal itu, justru diperlukan kearifan untuk menahan diri di kalangan para
pemimpin Islam sendiri.
‘Salah
baca’ para pimpinan MUI justru berakibat pada reaksi berlebihan dari kaum
muslimin sendiri. Kalau saja hal ini disadari oleh para pemimpin MUI, tidak
akan terjadi apa yang kita saksikan minggu lalu itu, yaitu penyerangan sejumlah
Masjid Ahmadiyah. Para pemimpin MUI justru
melupakan sebuah kenyataan penting berupa rumusan ajaran Islam yang sebenamya,
yaitu “Telah Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, untuk saling mengenal” (I
nna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li
ta’arafu). Dan sikap dasar dari ketentuan Tuhan itu adalah “Dan berpeganglah
kepada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah” (wa’tashimu
bi habli Allah jami’an wa la tafarraqu).
Sikap
dasar ini juga merupakan antisipasi terhadap kenyataan akan masa depan agama
Islam dan kaum muslimin, seperti telah terbukti dewasa ini yaitu Islam
merupakan agama besar, tanpa mengecilkan agama-agama lain. Inilah yang belum
disadari oleh para pemimpin MUI maupun para pemimpin berhaluan keras yang ada
di kalangan kaum muslimin sendiri pada saat ini. Sikap-sikap keras yang kita
lihat masih ada di kalangan kaum muslimin mudah-mudahan akan hilang melalui
pendidikan yang lebih baik dan komunikasi yang lebih intens.
Bisa
kita gambarkan upaya para pemimpin muslim di masa lampau, seperti Sir Sayyed
Ahmad Khan di India
dan Mohammad Abduh di Mesir. Di masa lampau, mayoritas kaum muslimin pada waktu
itu bersikap keras pada orang lain, karena memang kolonialisme masih
merajalela. Karena itu sikap toleransi yang mereka perlihatkan dianggap sebagai
tindakan ‘menyerahkan diri’ kepada agama lain. Tetapi pendidikan dan komunikasi
yang berkembang antara kaum muslimin dan pihak-pihak lain, membuat kita
menyadari bahwa memang diperlukan kearifan dan kebijaksanaan dalam hal ini.
Hanya
saja di kalangan orang-orang yang berpengetahuan agama Islam tidak cukup
mendalam, justru terjadi kecurigaan yang berlebih-lebihan terhadap orang lain,
yang menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada, bukannya mencari titik temu
antara Islam dengan agama-agama lain itu. Karena itulah, timbullah reaksi yang
mengacu kepada penggunaan “bahasa kekerasan” dari Islam terhadap agama-agama
lain. Inilah sisa-sisa warisan lama yang harus kita rubah melalui pendidikan
dan komunikasi antar golongan. Ini berarti terhadap keadaan yang berubah,
respon kita juga harus mengalami perubahan pula. Perubahan respon ini adalah
kewajaran dalam perkembangan manusia, bukannya keadaan yang harus diteruskan
dari generasi ke generasi. Tanpa memahami “keharusan sejarah” ini maka dapat
berakibat fatal bagi diri kita sendiri, minimal bagi peranan kita dalam
kehidupan bersama. Jawaban yang tepat hanya diperoleh mereka yang memahami
keadaan secara tepat pula.
Apa
yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian saja dari begitu banyak hal-hal
rumit yang dihadapi oleh kaum muslimin. Tetapi merespon dengan sikap keras
merupakan sesuatu yang tampak dengan segera dalam pandangan bangsa ini.
Mengapa? Karena kaum muslimin tidak hidup sendirian di sini, melainkan
ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-sama dengan orang-orang beragama
lain. Bahkan kaum muslimin sekarang ini harus hidup dengan mereka yang tidak
ber-Tuhan, atau mereka yang memiliki kerangka etis yang lain, seperti kerangka
dari ‘masa lampau'. Ini adalah bagian dari upaya melestarikan dan membuang yang
senantiasa terdapat dalam proses sejarah umat manusia, bukan?