Oleh: Abdurrahman Wahid
Salah satu kreasi unik bangsa kita adalah restoran Padang yang ada di mana-mana. Bahkan di
bulan, waktu Neil Amstrong pergi ke sana,
kata lelucon. Dalam bentuknya yang paling sederhana, restoran Padang menawarkan cara praktis bagi pembeli:
pilih sendiri yang disajikan, bayar hanya yang dimakan.
Tetapi restoran Padang
bukan sesuatu yang dapat disederhanakan, qua konsep. Ia adalah ujung
dari sebuah tradisi memasak yang dikembangkan orang Minang. Juga perwujudan
dari kemampuan mencapai kepraktisan untuk membagi juga perwujudan dari
kemampuan mencapai kepraktisan untuk membagi atau menyajikan makanan hanya
dalam unit-unit yang diperlukan. Belum lagi kemampuan membawa begitu banyak
piring-piring kecil di kedua tangan dan lengan, yang jangan-jangan diilhami itu
“ilmu lengket” tari piring.
Namun, yang mungkin paling tepat dikaitkan dengan restoran Padang adalah tradisi merantau orang Minang.
Kepraktisan cara penyajian makanan itu menampilkan kemampuan bersaing atas
dasar “efisiensi”. Ia mencerminkan tekanan pada keswadayaan orang kecil untuk
bergabung dalam upaya ekonomis yang semula berwatak kolektif. Keswadayaan itu
menampilkan diri dalam rasionalitas pengaturan segala hal.
Penulis tidak ingin melakukan idealisasi atas mahluk Tuhan yang Padang ini, karena
hal-hal “tak baik” pun dapat dicari di dalamnya. Salah satunya : terbakunya
kualitas makanan yang hanya mencerminkan “selera umum” masyarakat saja,
sehingga tidak bemilai tinggi. Untuk para gastronom, restoran Padang di negeri kita sama saja pangkatnya
dengan restoran hamburger di negeri sono (yang juga sudah ke seini, saat ini).
Keempukan sate Bangil atau keunikan rasa soto Ma’ruf di Jakarta,
yang jelas berbeda dari yang ada pada makanan bemama sama di tempat-tempat
lain, jelas tidak dapat dicari di restoran Padang.
Kalaupun ada restoran Padang
yang dianggap melebihi yang lain, seperti Sari Bundo di jalan Juanda, hingga
beberapa waktu yang lalu, “mutu tinggi” itu mengambil bentuk penampilan secara
umum, alias meliputi semua masakan. Tidak ada yang spesifik, tidak seperti sate
A yang memang bumbunya diramu berbeda dengan sate B.
Tapi, lihatlah daya tembus lintas sektoral restoran Padang dalam kehidupan bangsa. Itu tampak
mula-mula dalam kemampuan restoran ini untuk merebut langganan non-Minang di
mana-mana, sehingga lambat laun masakan Padang
menjadi semacam masakan nasional. Tidak berarti mampu menghilangkan kesukaan
orang pada makanan daerah lain, tetapi mampu menjadikan diri sebagai pilihan
kedua bagi masakan hampir semua daerah. Mula-mula karena alas an kemudahan:
mudah didapat di mana saja, selain praktis dalam penghidangan dan penikmatan.
Kemudian, karena telah menjadi selera tambahan.
Daya tembus seperti ini, kemampuan menjadikan diri pilihan kedua, adalah
kekuatan memasarkan diri yang luar biasa kenyalnya. Cukuplah kalau kita ingat
contoh celana jins Levi’s atau makanan “modem”, seperti hamburger dan ayam
Kentucky, untuk melihat kedahsyatan daya tembus seperti itu. Bayangkan
seandainya ekspor non migas kita memiliki daya seperti itu di pasaran dunia! .
Daya tembus lain yang sudah umum diketahui, tetapi jarang diingat, adalah
kemampuan menjadikan diri sebagai “lahan kerja” orang-orang dari sekian banyak
suku negeri kita. Di restoran Padang di sekian tempat persinggahan bis malam di
pulau Jawa saja sudah tampak dengan sekali lihat bahwa orang Minang telah
menjadi “pihak minoritas” dalam pengelolaan “warisan budaya leluhur” mereka
sendiri.
Ibarat mobil Toyota Jepang, yang di Amerika Serikat dijual dan ditawarkan
dealer bule tulen, masakan Padang
sudah diramu orang Jawa, Sunda, dan seterusnya. Mungkin hanya orang Batak saja
yang tidak mau membuka restoran Padang,
karena “alasan-alasan histories”.
Mengapa demikian mudah orang non-Minang mengambil oper gagasan restoran Minang?
Karena factor selera telah menyatu dengan factor-faktor non selera, seperti
kepraktisan cara kerja dan teknologi makanan yang tahan basi. Mudahnya
pengoperan gagasan restoran Padang oleh
orang-orang non Minang ini pun langsung disusul saat ini oleh fenomena lain yang
tidak kalah pentingnya: kemampuan banyak restoran Padang menghidangkan masakan lain yang
tadinya non-Padang.
Kebolehan menyerap unsur-unsur lain itu mencapai titik sublimnya ketika penulis
masuk ke sebuah restoran Padang di bilengan
Pasar Senen, Jakarta.
Pemiliknya orang Minang, Juga semua penyaji hidangan. Namun yang terdengar
dialunkan melalui kaset adalah lagu-lagu pop Jawa- Jawa Timur-an atau Jawa
Tengah-an. Mengapa? Jawabnya mudah saja:”Banyak orang Jawa penggemar lagu
begini menjadi langganan kami.” Semangat kerja yang memiliki kemampuan
antisipasi, menyerap, dan mempergunakan aspek-aspek usaha yang berorientasi
pasar inilah menjadi rahasia suksesnya restoran Padang. Mungkinkah hal ini dilaihkan pada
sesuatu yang lebih berlingkup nasional, seperti penggalakan ekspor dan
penciptaan kewiraswastaan yang kompetitif? .