Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam minggu keempat bulan Desember 2002, penulis atas undangan Susuhunan
Pakubuwono XII dari Solo, melancong ke Kuala Lumpur untuk dua malam. Penulis
memperoleh undangan itu, karena Sri Susuhunan juga diundang oleh sejumlah petinggi
Malaysia
guna merayakan ulang tahunnya yang ke 80. Ini menunjukkan, bahwa pengaruh
Keraton Solo Hadiningrat masih kuat hingga ke negeri jiran, seperti Malaysia. Sudah
tentu pengaruh tersebut bersifat budaya/kultural saja; karena pengaruh
politisnya sudah diambil alih pemerintah negeri kita. Inilah yang harus
disadari, karena kalau yang diinginkan adalah pengaruh politik tentu akan
kecewa, karena tidak dapat meraihnya.
Kunjungan tersebut penulis lakukan tanpa memberitahukan pihak pemerintah Malaysia, terutama kantor Perdana Menteri
Mahathir Muhammad, karena kunjungan tersebut tentu akan diambil alih oleh pihak
pemerintah federal –yang , kalau di Malaysia disebut kerajaan. Pihak
protokol akan membuat susah teman-teman Malaysia yang ingin menjumpai
penulis, yang akan membuat penulis tidak merdeka karena memberitahukan
kedatangan terlebih dahulu. Tentu, ini juga merupakan pertanda bahwa kunjungan
itu sendiri tidak mempunyai arti politis apapun. Dengan demikian, penulis juga
merasa tidak perlu memberitahukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur atas
kunjungan tersebut. Karena penulis tidak ingin digannggu siapapun dalam
melakukan kunjungan tersebut.
Pada hari kedua, penulis melakukan perjalanan selama tujuh jam (pulang-pergi)
untuk melakukan ziarah ke makam Hang Tuah, di Tanjung Keling, Negara bagian
Malaka. Di tempat itu, kepada penulis dibacakan serangkaian tulisan yang
menyertai beberapa buah gambaran/lukisan tentang beliau. Katakanlah semacam
diorama tentang kehidupan Hang Tuah, yang sejak masih muda sudah mengabdi
kepada Raja/Sultan Malaka. Bahkan, oleh intrik istana ia diharuskan membunuh
saudara seperguruan dan senasib sepenanggungan yaitu, Hang Jebat. Harga inilah
yang harus dibayar oleh Hang Tuah untuk pengabdiannya kepada Sultan. Ia adalah
prototype “Korpri sempuma”, --seperti halnya Habib Abdurrahman Al-Basyaibani,
yang dikuburkan di Segarapura, Kemantrenjero (sekarang terletak di Kecamatan
Rejoso, Pasuruan). Ia adalah nenek moyang penulis yang menjadi yang menjadi
abdi dalem Sultan Trenggono dari Demak.
*****
Penulis mengemukakan bahwa Susuhunan Pakubuwono XII masih memainkan peranan
penting dalam rangkaian ikatan budaya/kultural yang merekatkan kedua bangsa
serumpun, Indonesia dan Malaysia.
Apapun perbedaan antara keduanya, namun persamaan yang ada haruslah di pupuk
terus, agar menghasilkan ikatan yang semakin kuat di hadapan tantangan modemisasi
kehidupan, yang sering mengambil bentuk westemisasi (pembaratan). Di kala
perkembangan politik justru mengarahkan Indonesia
dan Malaysia
untuk saling bersaing, maka persaingan itu sendiri haruslah diimbangi oleh
ikatan-ikatan budaya/kultural yang sangat kuat. Seperti halnya Kanada, yang
secara politis lebih terikat kepada kerajaan Inggris, yang terletak 9000 km di
seberang lautan, dan secara kultural lebih dekat dari pada Amerika Serikat yang
secara geografis adalah Negara jiran/tetangga.
Bahwa ikatan seperti ini, yaitu berdasarkan persamaan budaya antara dua negara,
masih mempunyai kekuatan sendiri, tidak dapat dibantah lagi. Bagaimanapun juga,
negara jiran Australia
justru merasa lebih dekat kepada kerajaan Inggris atau Amerika Serikat. Yang
memiliki ikatannya sendiri; satu dengan yang lain sebagai budaya. Inilah
“kodrat alami” yang intensitasnya tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun. Karena
itu, kemauan pihak Keraton Solo sangatlah memiliki arti penting; ia menunjang
kedekatan hubungan antara Indonesia
dan Malaysia.
Karena itulah, penulis tidak mengerti mengapa ada pejabat Indonesia yang
mengatakan bahwa Keraton Solo tidak ada penting artinya bila dibandingkan
dengan keraton lain di Jawa. Ini adalah ucapan orang yang tidak mengerti duduk
masalah peranan budaya sebuah keraton. Yang dimengerti orang itu hanyalah
peranan politisnya belaka, yang belum tentu memiliki arti kelanggengan dalam hubungan
antara kedua bangsa. Karena itu, setiap kali kita memperhatikan hubungan antara
dua bangsa serumpun, seperti Indonesia
dan Malaysia,
tentulah menjadi sangat penting untuk mengetahui peranan politik atau peranan
budaya yang dimaksudkan. Kerancuan dalam melihat hal ini hanya akan membuat
kita kepada keadaan tidak menguntungkan: ditertawakan orang baik di Indonesia maupun di Malaysia.
*****
Dalam jamuan makan malam untuk menghormati ulang tahun ke-80 Susuhunan
Pakubuwono XII di Kuala Lumpur, penulis juga mengemukakan sebuah arti lain dari
peranan budaya itu. Pada saat ini, Malaysia
dan Thailand sedang
mengutamakan pengembangan wilayah sebelah utara dari kawasan Asean –yaitu, Myanmar, Vietnam,
Laos
dan Kamboja. Secara politis, ini berarti Malaysia
dan Thailand
mengambil peranan politik lebih besar di wilayah utara kawasan Asean tersebut.
Ini tentu dapat dimengerti, karena dua negara di wilayah selatan dari
perhimpuann kawasan Asean itu, yaitu Singapura dan Indonesia sedang dilanda krisis
masing-masing. Dalam hal ini, Malaysia
dan Thailand
melakukan sebuah hal yang alami dan wajar, yaitu mengisi sebuah kekosongan
politik.
Lain halnya dengan wilayah selatan kawasan tersebut. Asean belum dapat menerima
Papua Nugini, Timor Lorosae dan negeri-negeri pasifik sebelah barat (westem
pacific state). Maka dengan sendirinya, lebih sulit bagi Indonesia untuk
mendukung mereka secara kongret di bidang politik, sedangkan hubungan budaya
dengan wilayah tersebut masih belum berkembang secara pesat. Keeratan hubungan
budaya antara Indonesia
dengan wilayah pasifik barat daya tersebut, akan sangat ditentukan oleh
kerjasama ekonomi dan komersil. Sementara itu, peranan Malaysia di wilayah sebelah utara di kawasan
Asean itu berjalan sangat cepat, tidak seperti peranan politik Indonesia di
wilayah selatan di kawasan tersebut, yang terasa tidak bertambah sama sekali.
Sudah tentu, antara peranan politik Indonesia
dan peranan budaya Malaysia
di wilayah masing-masing itu, harus disambungkan secara baik. Dalam hal ini,
keraton Surakarta Hadiningrat mempunyai peluang sangat besar mengembangkan
peranan kedua bangsa serumpun itu. Inilah yang harus senantiasa menjadi
pegangan dalam meninjau posisi keraton dalam hubungan itu. Dan ini adalah
peranan alami, yang bagaimanapun juga tidak akan dapat diimbangi oleh hubungan
yang direkayasa dan berlangsung tidak alami. Dalam hal ini, kita tidak
memerlukan intervensi khusus. Mudah sekali untuk menyatakan hal itu, namun
sangat sulit untuk menyatakannya, bukan?