Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam penerbangan dari Biak ke Sentani di
tanah Papua, penulis naik pesawat Garuda dengan nomor penerbangan 650, di bawah
pimpinan Kapten Alam Jaya. Terbang dari airport Cengkareng di Jakarta jan 23.50
malam dan tiba di airport Sentani sekitar jam 07.00 pagi WIT (Waktu Indonesia
Timur) dalam penerbangan ke Biak ke Sentani cuaca sangat baik, dan langit
terang benderang sejak matahari terbit. Karena sudah tidur dari Cengkareng ke Biak, termasuk singgah setengah jam di Airport Hasanudin
(Makasar), penulis lantas teringat kisah Laksamana Isoroku Yamamoto dari bala
tentara Jepang. Laksamana Isoroku itu baru bertugas di Bougainville, sebuah
pulau di utara tanah Papua, dan sekarang menjadi bagian dari Papua Nugini
(PNG).
Tadinya, sang Laksamana bertugas di pulau Jawa dengan kedudukan di Jakarta dan menjadi
Komandan balatentara Jepang ke-16 yang bertugas di kawasan Pasifik Barat.
Markas besamya baru saja dipindahkan Bouganville itu, karena ancaman ke daratan
Jepang dari pulau-pulau lautan Pasifik yang sebelumnya direbut mereka, mulai
terancam dan jatuh ke tangan Amerika Serikat. Gabungan tentara darat di bawah
pimpinan Jenderal Mc Arthur dan Armada wilayah Pasifik negeri itu (CinCPac) di
Hawaii, tidak kuat ditahan oleh balatentara Dai Nippon. Rupanya, pihak
intelejen AS berhasil memecahkan kode-kode Jepang, sehingga komunikasi antar
pasukan Jepang dapat “ditembus” oleh AS. Pihak AS mengetahui bahwa Laksamana Imamoto pada suatu hari
sedang terbang dari Biak ke Bouganville.
Dengan segera sebuah rangkaian pesawat terbang buru sergap AS di persiapkan
untuk menembak jatuh pesawat terbang yang tentunya dikawal pula oleh
serombongan pesawat terbang buru sergap Jepang, tentu saja dalam jumlah lebih
kecil dari rangkaian AS itu. Karena kelebihan jumlah itu sebagian dari mereka
dapat mendekati pesawat terbang yang membawa Laksamana Jepang itu. Mereka
berhasil melakukan penyergapan dan pesawat naas itu akhimya melakukan
pendaratan darurat di Bougainville karena
kerusakan berat yang dideritanya. Pendaratan darurat itu gagal Laksamana
Yamamoto meninggal dalam peristiwa itu. Sebulan kemudian pihak Jepang
mengumunkan penguburan abu Sang Laksamana Isoroki Yamamoto di Tokyo. Jepang pun kehilangan salah satu otak
militemya yang cemerlang, yang membuat tentara negeri Sakura itu berhasil
merebut daerah sebelah barat Pasifik tersebut, beberapa belas bulan sebelumnya.
Dengan segera perimbangan kekuatan militer di kawasan Pasifik lalu berubah, dan
Laksamana Maeda dari pihak Jepang meminta Ayahanda penulis, KH. A. Wahid
Hasyim, untuk menunjuk seorang Indonesia sebagai juru runding dengan pihak
Jepang tentang kemerdekaan, jika tentara Sekutu sampai mendarat ke negara
kepulauan yang dikuasai Jepang ini. Ayah penulis menjawab, keputusan berada di
tangan ayahnya KH. M. Hasyim As’yari di pesantren Tebuireng, Jombang setelah
berkonsultasi dengan beliau, ayah penulis memberitahu Laksamana Maeda, ayahnya
menunjuk Soekamo sebagai wakil bangsa Indonesia dalam perundingan kemerdekaan
yang dilakukan sejak akhir tahun 1943. Keputusan untuk menunjuk tokoh tersebut
sekaligus membuktikan fakta sejarah, bahwa beliau sangat memikirkan kepentingan
bangsa Indonesia,
bukanya hanya kepentingan NU sebagai organisasi Isalm yang didirikan beliau
tahun 1926.
Penulis teringat itu semua, ketika naik pesawat terbang Garuda dari Biak ke Sentani dan tidak bisa tidur. Alangkah penting
arti keberhasilan memecahkan kode rahasia Jepang itu, dari jalannya perang di
kawasan Barat lautan Pasifik itu. Penulis menyadari bahwa betapa sangat
berharganya otak manusia seperti Laksamana Yamamoto bagi jalannya sejarah.
Karena itu, peperangan dalam banyak hal tergantung dari otak manusia, seperti
halnya proses bangsa kita mencapai kemerdekaan kita. Proklamasi 17 Agustus 1945
bukan saja berakhimya sebuah tahapan penjahan yang diawali dari Belanda
kemudian ke tangan pemerintahan pendudukan Jepang, tapi juga permulaan
kemerdekaan kita sebagai bangsa. Langit jemih di atas lautan pasifik sebelah
barat itu, temyata memungkinkan pesawat-pesawat terbang buru sergap AS untuk
menghantam Komando Militer Jepang di kawasan itu.
Perhitungan manusia temyata jauh kalah dari perkembangan alam. Sama halnya
seperti perbenturan antara dua buah peradaban yaitu sebuah negeri demokrasi
seperti AS, mampu mengalahkan sebuah negara militeristik seperti Jepang,
dibawah pemerintahan efektif yang dipimpin Perdana Menteri Jenderal Tojo dan di
bawah pimpinan moral Kaisar (Teno Haika) di Jepang. Artinya, sebuah
pemerintahan diktaktor militer tidak akan dapat mengalahkan sebuah pemerintahan
demokratis, karena kreatifitas yang dimilikinya dan daya tahan rakyatnya.
Lambat laun tentulah pemerintah demokratis itu akan dapat menumbangkan
pemerintahan diktaktor militer jika telah datang waktunya untuk itu. Karenanya,
yang harus kita tegakkan justru bukannya pemerintahan diktaktor militer
melainkan pemerintahan demokratis yang lambat laun akan memberikan pada bangsa
kita apa yang menjadi tujuannya, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Dalam hal ini, kita perlu memperlajari sejarah bangsa-bangsa lain, termasuk
sejarah bangsa Jepang, yang dahulu mulai dibawa ke alam modem oleh Shogun
Tokugawa Ieyashu di abad ke-18 masehi. Penaklukan kaum militer (Daimyo) oleh
Shogun pertama yang menguasai seluruh negara dalam bentuk ketokohan Ieyashu
tersebut, menunjukkan betapa pentingnya masa pemulihan (Meiji Restoration)
tersebut bagi Jepang. Hal itu terbukti kembali saat ini setelah Jepang
kehilangan jajahan-jajahan. Dalam alam demokrasi ia justru merebut pasaran di
seluruh dunia, dan menjadi raksasa ekonomi yang paling kuat kedudukannya saat
ini. Dalam hal ini, secara tidakk disadari Jepang mengikuti konsep yang
diterapkan oleh Jerman Barat setelah Perang Dunia II, yang disebut Soziale
Marktwirtschaft dari mendiang Konselir Ludwig Erhard. Bukan negaralah yang
direbut melainkan pasaran tempat menjual produk-produk teknologi Jerman.
Ini juga berlaku bagi negeri kita. Dahulu kita terpecah belah dalam sekian
banyak kerajaan. Sejak abad ke-4 masehi, kita sudah mengenal kerajaan Medang
Kamulan di Malang Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, Kalingga di Pegunungan
Dieng (Jawa tengah), Tarumanegara di Pakuan, Bogor. Pada abad ke-6 masehi kerajaan
Sriwijaya berdiri tegar dengan Tulang Bawang sebagai Ibu kota dan Budha sebagai agama. Dua abad
kemudian Sriwijaya menyerbu Kalingga, yang menjadikannya sebagai sebuah
imperium yang sangat kuat, yang memerintah Sumatera bagian Selatan dan Jawa
Tengah dari perjumpaan/ perbenturan antara Sriwijaya dan Kalingga itu, lahirlah
masyarakat Hindu-Budha di Prambanan. (Jawa Tengah), yang pada akhimya berpindah
ke Jawa Timur karena “desakan-desakan” dari luar, di bawah pimpinan
Darmawangsa.
Dari sinilah bermula beberapa kerajaan seperti Kediri
dan Daha, Singosari (di daerah Malang)
dan akhimya Majapahit yang kemudian menguasai Nusantara. Kerajaan Majapahit
yang berorientasi niaga-laut itu, akhimya diganti oleh kerajaan Mataram yang
dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sulatan Agung merubah
administrasi pemerintahan Mataram menjadi agraris yang berlaku hingga masa
pemerintahan Soeharto. Inilah pelajaran yang harus kita petik, untuk menentukan
perlukah kita mempertahankan orientasi pemerintahan tersebut atau justru
merubahnya? Kalau jawabanya positif, maka ia memang mudah dikatakan, namun
sulit dilaksanakan bukan?