Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Kisah Sebuah Cerita Lama

    Oleh: Abdurrahman Wahid

    Dalam penerbangan dari Biak ke Sentani di tanah Papua, penulis naik pesawat Garuda dengan nomor penerbangan 650, di bawah pimpinan Kapten Alam Jaya. Terbang dari airport Cengkareng di Jakarta jan 23.50 malam dan tiba di airport Sentani sekitar jam 07.00 pagi WIT (Waktu Indonesia Timur) dalam penerbangan ke Biak ke Sentani cuaca sangat baik, dan langit terang benderang sejak matahari terbit. Karena sudah tidur dari Cengkareng ke Biak, termasuk singgah setengah jam di Airport Hasanudin (Makasar), penulis lantas teringat kisah Laksamana Isoroku Yamamoto dari bala tentara Jepang. Laksamana Isoroku itu baru bertugas di Bougainville, sebuah pulau di utara tanah Papua, dan sekarang menjadi bagian dari Papua Nugini (PNG).

    Tadinya, sang Laksamana bertugas di pulau Jawa dengan kedudukan di Jakarta dan menjadi Komandan balatentara Jepang ke-16 yang bertugas di kawasan Pasifik Barat. Markas besamya baru saja dipindahkan Bouganville itu, karena ancaman ke daratan Jepang dari pulau-pulau lautan Pasifik yang sebelumnya direbut mereka, mulai terancam dan jatuh ke tangan Amerika Serikat. Gabungan tentara darat di bawah pimpinan Jenderal Mc Arthur dan Armada wilayah Pasifik negeri itu (CinCPac) di Hawaii, tidak kuat ditahan oleh balatentara Dai Nippon. Rupanya, pihak intelejen AS berhasil memecahkan kode-kode Jepang, sehingga komunikasi antar pasukan Jepang dapat “ditembus” oleh AS. Pihak AS mengetahui bahwa Laksamana Imamoto pada suatu hari sedang terbang dari Biak ke Bouganville.

    Dengan segera sebuah rangkaian pesawat terbang buru sergap AS di persiapkan untuk menembak jatuh pesawat terbang yang tentunya dikawal pula oleh serombongan pesawat terbang buru sergap Jepang, tentu saja dalam jumlah lebih kecil dari rangkaian AS itu. Karena kelebihan jumlah itu sebagian dari mereka dapat mendekati pesawat terbang yang membawa Laksamana Jepang itu. Mereka berhasil melakukan penyergapan dan pesawat naas itu akhimya melakukan pendaratan darurat di Bougainville karena kerusakan berat yang dideritanya. Pendaratan darurat itu gagal Laksamana Yamamoto meninggal dalam peristiwa itu. Sebulan kemudian pihak Jepang mengumunkan penguburan abu Sang Laksamana Isoroki Yamamoto di Tokyo. Jepang pun kehilangan salah satu otak militemya yang cemerlang, yang membuat tentara negeri Sakura itu berhasil merebut daerah sebelah barat Pasifik tersebut, beberapa belas bulan sebelumnya.

    Dengan segera perimbangan kekuatan militer di kawasan Pasifik lalu berubah, dan Laksamana Maeda dari pihak Jepang meminta Ayahanda penulis, KH. A. Wahid Hasyim, untuk menunjuk seorang Indonesia sebagai juru runding dengan pihak Jepang tentang kemerdekaan, jika tentara Sekutu sampai mendarat ke negara kepulauan yang dikuasai Jepang ini. Ayah penulis menjawab, keputusan berada di tangan ayahnya KH. M. Hasyim As’yari di pesantren Tebuireng, Jombang setelah berkonsultasi dengan beliau, ayah penulis memberitahu Laksamana Maeda, ayahnya menunjuk Soekamo sebagai wakil bangsa Indonesia dalam perundingan kemerdekaan yang dilakukan sejak akhir tahun 1943. Keputusan untuk menunjuk tokoh tersebut sekaligus membuktikan fakta sejarah, bahwa beliau sangat memikirkan kepentingan bangsa Indonesia, bukanya hanya kepentingan NU sebagai organisasi Isalm yang didirikan beliau tahun 1926.

    Penulis teringat itu semua, ketika naik pesawat terbang Garuda dari Biak ke Sentani dan tidak bisa tidur. Alangkah penting arti keberhasilan memecahkan kode rahasia Jepang itu, dari jalannya perang di kawasan Barat lautan Pasifik itu. Penulis menyadari bahwa betapa sangat berharganya otak manusia seperti Laksamana Yamamoto bagi jalannya sejarah. Karena itu, peperangan dalam banyak hal tergantung dari otak manusia, seperti halnya proses bangsa kita mencapai kemerdekaan kita. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan saja berakhimya sebuah tahapan penjahan yang diawali dari Belanda kemudian ke tangan pemerintahan pendudukan Jepang, tapi juga permulaan kemerdekaan kita sebagai bangsa. Langit jemih di atas lautan pasifik sebelah barat itu, temyata memungkinkan pesawat-pesawat terbang buru sergap AS untuk menghantam Komando Militer Jepang di kawasan itu.

    Perhitungan manusia temyata jauh kalah dari perkembangan alam. Sama halnya seperti perbenturan antara dua buah peradaban yaitu sebuah negeri demokrasi seperti AS, mampu mengalahkan sebuah negara militeristik seperti Jepang, dibawah pemerintahan efektif yang dipimpin Perdana Menteri Jenderal Tojo dan di bawah pimpinan moral Kaisar (Teno Haika) di Jepang. Artinya, sebuah pemerintahan diktaktor militer tidak akan dapat mengalahkan sebuah pemerintahan demokratis, karena kreatifitas yang dimilikinya dan daya tahan rakyatnya. Lambat laun tentulah pemerintah demokratis itu akan dapat menumbangkan pemerintahan diktaktor militer jika telah datang waktunya untuk itu. Karenanya, yang harus kita tegakkan justru bukannya pemerintahan diktaktor militer melainkan pemerintahan demokratis yang lambat laun akan memberikan pada bangsa kita apa yang menjadi tujuannya, yaitu masyarakat adil dan makmur.

    Dalam hal ini, kita perlu memperlajari sejarah bangsa-bangsa lain, termasuk sejarah bangsa Jepang, yang dahulu mulai dibawa ke alam modem oleh Shogun Tokugawa Ieyashu di abad ke-18 masehi. Penaklukan kaum militer (Daimyo) oleh Shogun pertama yang menguasai seluruh negara dalam bentuk ketokohan Ieyashu tersebut, menunjukkan betapa pentingnya masa pemulihan (Meiji Restoration) tersebut bagi Jepang. Hal itu terbukti kembali saat ini setelah Jepang kehilangan jajahan-jajahan. Dalam alam demokrasi ia justru merebut pasaran di seluruh dunia, dan menjadi raksasa ekonomi yang paling kuat kedudukannya saat ini. Dalam hal ini, secara tidakk disadari Jepang mengikuti konsep yang diterapkan oleh Jerman Barat setelah Perang Dunia II, yang disebut Soziale Marktwirtschaft dari mendiang Konselir Ludwig Erhard. Bukan negaralah yang direbut melainkan pasaran tempat menjual produk-produk teknologi Jerman.

    Ini juga berlaku bagi negeri kita. Dahulu kita terpecah belah dalam sekian banyak kerajaan. Sejak abad ke-4 masehi, kita sudah mengenal kerajaan Medang Kamulan di Malang Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, Kalingga di Pegunungan Dieng (Jawa tengah), Tarumanegara di Pakuan, Bogor. Pada abad ke-6 masehi kerajaan Sriwijaya berdiri tegar dengan Tulang Bawang sebagai Ibu kota dan Budha sebagai agama. Dua abad kemudian Sriwijaya menyerbu Kalingga, yang menjadikannya sebagai sebuah imperium yang sangat kuat, yang memerintah Sumatera bagian Selatan dan Jawa Tengah dari perjumpaan/ perbenturan antara Sriwijaya dan Kalingga itu, lahirlah masyarakat Hindu-Budha di Prambanan. (Jawa Tengah), yang pada akhimya berpindah ke Jawa Timur karena “desakan-desakan” dari luar, di bawah pimpinan Darmawangsa.

    Dari sinilah bermula beberapa kerajaan seperti Kediri dan Daha, Singosari (di daerah Malang) dan akhimya Majapahit yang kemudian menguasai Nusantara. Kerajaan Majapahit yang berorientasi niaga-laut itu, akhimya diganti oleh kerajaan Mataram yang dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sulatan Agung merubah administrasi pemerintahan Mataram menjadi agraris yang berlaku hingga masa pemerintahan Soeharto. Inilah pelajaran yang harus kita petik, untuk menentukan perlukah kita mempertahankan orientasi pemerintahan tersebut atau justru merubahnya? Kalau jawabanya positif, maka ia memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728