Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Kiai Razaq yang Terbakar

    Oleh Abdurrahman Wahid

    KIAI ABDUL RAZAQ MAKMUN adalah profil tersendiri di antara "barisan kiai" di kalangan kaum Betawi.

    Kalau para kiai lain getol melancarkan serangan gencar kepada hal-hal yang modem, kiai dari 'golongan Tegalparang' ini justru memakai pendekatan serba ringan. Kalau para kiai lain menunjukkan kata-kata tajam, Kiai Razaq justru tidak pemah menyinggung-nyinggung perbedaan agama, seperti kasus judi beberapa tahun yang lain, Kiai Razaq justru jarang menyoroti soal-soal hangat seperti itu.

    Tema pembicaraannya, walaupun dibumbui dengan humor segar dan penuh dengan 'dalil' ayat AI-Qur'an dan hadith Nabi, biasanya hanya berkisar pada pentingnya kerja menuntut ilmu. Tema tunggal ini disampaikannya secara menetap selama sepuluh tahun.

    Walaupun dihormati almarhum Kiai Bisri Syansuri sebagai salah satu dari sedikit ulama Betawi yang 'mengerti hukum agama secara mendalam', sedikit sekali diperagakannya kebolehan di bidang fiqh itu. Paling-paling hanya ketahuan kalau sedang ada musyawarah hukum agama di kalangan Syuriah Nahdlatul Ulama.

    Di luar forum terbatas dan periodik sepertti itu. yang disampaikannya hanyalah pesan menuntut ilmu bagi kepentingan agama.

    Mengapa demikian tekun ia dengan tema tunggalnya itu? Mengapakah kiai-kiai lain justru tidak demikian?

    Banyak sebab dapat dicari, tetapi yang terpenting tentunya adalah kehidupan kejiwaannya sendiri. Ia berkembang dalam suasana yang memuliakan pencapaian standar pengetahuan agama yang tinggi, bukan hanya sekedar 'kiai-kiaian'. Karena kedalaman pengetahuannya ini, ia melihat kekuatan agamanya sendiri.

    Pantaslah kalau ia tidak begitu melihat ancaman proses modemisasi. Selama masih ada ulama yang berpengetahuan agama mendalam, yang akan memimpin umat melakukan peroses penyaringan atas jalannya modemisasi itu sendiri, tidak usah kita histeris atau panik. Asal anak muda mau mempelajari ilmu-ilmu agama, yang diistilahkannya 'mencari ilmu', selama itu pula akan ada proses seleksi yang baik.

    Jawaban atas modemisai, dalam pandangan Kiai Razaq, adalah anjuran 'menuntut ilmu'. Tata nilai yang dianutnya masih tergolong apa yang oleh Sharon Siddiqui dari Institute of Southeast Asian Studies sebagai 'budaya pesisir': penghormatan kepada kaum sayyid, terutama almarhum Habib Ali Kwitang. Watak hidupnya masih serba tradisional, dalam artian mengikuti amalan-amalan agama yang sudah berumur ratusan tahun tanpa banyak mengalami pergeseran.

    Walaupun demikian, rasionalitasnnya, yang dibavvakan oleh keyakinan penuh kepada limu-ilmu agama sebagai pengarah kehidupan, membawakan pendekatan tersendiri kepada masalah dasar yang dihadapinya dalam kehidupan. Rasionalitas yang tidak mencari argumentasi serba logis dari ilmu pengetahuan modem, melainkan yang berpangkal pada integritas ilmu-ilmu agama itu sendiri.

    Dari sudut pengenalan ini, kita tidak heran ketika akhir-akhir ini terjadi perkembangan menarik dalam pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya. Kiai Razaq tidak lagi hanya berpesan tentang pentingnya transmigrasi.

    Transmigrasi? Dari kiai tradisional ini? Dari mana ia peroleh gagasan itu? Apakah yang mendorongnya berbicara semangat tentang transmigrasi? Persoalannya sederhana saja. Di dalam berdialog dengan dirinya sendiri, ditemukannya cara terbaik untuk lebih mematangkan sikap hidup kaum muslimin Betawi. Sikap hidup yang menghasilkan perbaikan kualitas hidup mereka kelak, tetapi terlebih-lebih yang akan mendorong generasi muda untuk 'menuntut ilmu' melalui penyediaan sarana sosial-ekonomisnya.

    Bukankah di tempat baru mereka akan mendapatkan perbaikan situasi ekonomi masing-masing? Bukankah akan lebih mudah bagi mereka untuk membiayai pendidikan agama ditempat baru, daripada berjubel di tempat lama dengan sumber-sumber ekonomi yang semakin mengecil?

    'Menuntut ilmu' diwajibkan oleh agama. Bukankah prasarana untuk kerja tersebut menjadi wajib, sesuai dengan kaidah 'ma layatimmul wajibu illa bihi fahhua wajibun' (Sesuatu yang menyempumakan kewajiban berstatus wajib pula)? Transmigrasi menjadi wajib, karena ia merupakan persyaratan bagi kewajiban 'menuntut ilmu' di kemudian hari. Belum lagi dihitung kepentingannya bagi pembangunan nasional.

    "Ane udah bentuk suatu yayasan untuk membantu pemerintah dalam soal transmigrasi," ujamya dalam gaya khas Betawi pada sebuah penataran muballigh bulan puasa yang lalu. "Sayang enggak inget namenye. Maklum panjang banget namenye."

    Hadirin tertawa mendengar ucapan terakhir ini. Bagaimana orang dapat lupa kepada nama yayasan yang didirikannya sendiri.

    "Ente semue jangan ketawa dulu. Pikir mateng-mateng pesen ane ini. Diskusi-in biar lame. Tanggung deh ente semue nanti lebih kebakar dari gue sekarang."

    Begitu yakin Kiai Razaq dengan ajakannya yang baru ini, sehingga ia membuat perkiraan keadaan di masa datang: "Dua puluh taon lagi tanggung deh ente semua bakal bilang Kiai Razaq orangnye jempol. Sekarang sih belum ketahuan!"



    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728