Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Muka Baru Pandangan Lama

    Oleh: Abdurrahman Wahid

    Penulis diminta memberikan ceramah budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Rabu (29/6) malam lalu. Ceramah yang berisikan pencarian landasan kultural bagi demokrasi di negeri kita itu, temyata ditanggapi oleh pandangan pesimis baik oleh Saut Situmorang yang juga sebagai penceramah maupun para penanya. Umumnya mereka mengemukakan pandangan bemada pesimis tentang prospek demokrasi di negeri kita dalam waktu dekat ini, walaupun mereka hampir seluruhnya berbicara tentang bidang pendidikan, sebagai acuan terpenting dalam proses tersebut, yang pada umumnya pendapat yang muncul adalah tentang kegagalan dunia pendidikan kita untuk menciptakan demokrat-demokrat di masa depan. Lucunya, pandangan ini bertolak belakang dengan para penyair yang mendendangkan cinta dan lain-lain, yang menunjukkan keakraban dengan kehidupan penuh optimisme.

    Apalagi kenyataan itu juga dibarengi oleh kekenesan pribadi, baik dari hadirin, maupun pembawa acara: si ini cantik, si itu rupawan. Nah, nuansa ucapan hadirin yang menunjukkan besamya kadar pesimisme itu temyata pada saat yang sama diimbangi oleh optimisme di atas. Apalagi para peserta acara ceramah itu hampir seluruhnya dari kalangan/generasi panitia penyelenggara acara tersebut, kecuali Lili Munir dari kalangan generasi muda. Mereka rela duduk di atas koran dalam acara yang sangat sederhana. Dengan kata lain keprihatinan mereka akan masa depan kehidupan bangsa, terasa sangat mengharukan. Kalau demikian, mengapa mereka begitu pesismis akan masa depan demokrasi di negeri kita? Jawabannya terletak pada kenyataan, bahwa demokrasi justru bemiat ‘menghancurkan’ status quo/situasi yang ada tanpa melalui kekerasan.

    Karena itulah perubahan sosial sekecil apapun harus terjadi, sebagai akibat dari langkah pemberian suara dalam pemilu. Justru disinilah letak kekuatan proses demokratisasi. Memang, selalu terasa ada pertanyaan demi pertanyaan yang tidak menemukan jawaban dengan pasti, karena ‘zig-zagnya’ perkembangan keadaan dan tajamnya perubahan-perubahan yang terjadi. Namun intinya, kejadian perubahan demi perubahan kebijakan itu tidak dilakukan melalui kekerasan dan ini merupakan akumulasi kehendak bersama. Seperti penggunaan bahasa nasional dalam kehidupan kita sehari-hari. Keputusan bersama ini, memberikan kekuatan kepada kita untuk merekatkan salah satu unsur penting dalam kehidupan berbangsa.

    Pemberian wewenang kepada pemerintah, dalam hal ini kepada pihak legislatif bersama-sama dengan eksekutif, dilakukan dengan legitimasi yang diberikan oleh mayoritas bangsa. Namun ini tidak berarti sesuatu yang berjalan tanpa adaa transparansi di hadapan publik. Ketika Jenderal Douglas Mc Arthur mengeluarkan niat untuk melakukan pemboman atas kekuatan-kekuatan bersenjata konvensional di sungai Yalu yang mengalir dari RRT ke Korea Utara, maka segera ia “disanggah” oleh Presiden AS Harry S Truman, langsung dari negerinya untuk menyampaikan keputusan itu. Dalam “pergolakan politik” ketika itu, jelas bahwa wewenang menggunakan sejata pemusnah massal atau tidak dalam sebuah peperangan terletak pada diri Presiden yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu, sehingga keputusan itu sendiri merupakan sebuah “kejadian politik” yang transparan dan diketahui secara terbuka oleh masyarakat.

    Apa yang terjadi pada Korea lebih dari setengah abad yang lalu itu, akhimya menunjukkan kepada kita bahwa rakyat pemilih ‘sebodoh apapun’, akan memilih para penentu kebijakan yang tidak emosional. Sedangkan Jenderal Douglas Mc Arthur yang militer itu, justru ingin menggunakan “jalan pintas” dengan menggunakan senjata nuklir, yang akan berakibat kematian ratusan ribu orang melebihi “korban-korban” yang berjatuhan melalui penggunaan senjata konvensional. Artinya nyawa manusia adalah sesuatu yang sangat berharga dihadapan Truman yang juga sangat berarti bagi rakyat pemilih yang memberikan suara kepadanya. Bukankah terjadi kebalikan dari keputusan Presiden AS Franklin D. Roosevelt sebelumnya yang menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima secara jauh dari “pertimbangan emosional”?

    Transparansi itu menjadi sesuatu yang begitu penting dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis. Terdapat pertanggung jawaban moral kepada rakyat banyak, dalam sebuah pemerintahan demokratis. Namun hal itu tidak terdapat dalam pemerintahan kita yang tidak “dipilih” melalui sebuah pemilu hingga saat ini. Karena itu tidak dapat ditentukan secara hukum siapa yang bersalah dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah dalam begitu banyak hal, yang menyangkut kehidupan kita bersama? Pak Harto-kah atau pejabat-pejabat lain yang “bersalah dalam hal ini?” Hal yang sama tentu dipakai sebagai argumentasi oleh pengacara Saddam Hussein dan oleh pihak ‘pemerintahan peralihan’. Dalam kasus ini terjadi adu argumentasi antara dua pihak, yang sama-sama tidak dipilih oleh rakyat.

    Dari kasus di Iraq dan di negeri kita itu menjadi jelas, bahwa ada dialog yang tidak seimbang antara pendekatan hukum dan pendekatan moral. Dengan sendirinya, pendekatan secara moral, dengan bantuan dari luar, baik dalam bentuk ‘doktrin’ dan ‘sikap dunia luas’ yang bersifat ‘universal’, lalu digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi salah satu bangsa. Ini artinya sama dengan tiadanya kemampuan dari bangsa yang bersangkutan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Siapapun juga tidak akan dapat menerima pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah sebuah bangsa diambil berdasarkan tekanan-tekanan dari luar. Di sini kita sampai kepada esensi demokrasi: pengambilan keputusan secara transparan oleh bangsa yang bersangkutan.

    Sebuah pokok dari sebuah pemerintahan demokratis lalu menjadi jelas bagi kita. Kedaulatan politik sebuah bangsa, tentu saja akan tampak dengan sendirinya, di tangan rakyat pemilih. Kalau Von Clausewitz menyatakan, perang adalah terlalu penting untuk diputusakan oleh hanya para Jenderal saja, maka kitapun dapat menyatakan keputusan politik adalah terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para pemimpin politik belaka. Melalui pemilu, rakyat pemilih akan menentukan siapa yang menjadi pemimpin politik sebuah bangsa, dan dengan demikian secara tidak langsung mengambil keputusan atas hal-hal yang menentukan kehidupan bangsa itu. Sudah tentu ini akan berlangsung secara transparan, jika diawal atau ditengah-tengah proses ia berlangsung tanpa kekerasan.

    Nah, disinilah juga terdapat esensi sebuah proses demokratis yang dimaksudkan, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sebuah bangsa yang dilakukan tanpa kekerasan. Ini artinya juga hak bagi ‘muka-muka baru’ untuk mengambil keputusan yang menentukan bagi seluruh rakyat. Hak seperti itu menjamin agar perubahan-perubahan keputusan yang diambil, berlangsung tanpa kekerasan. Kita memutuskan bahwa wilayah Nusantara adalah lingkup kenegaraan kita dan secara teoritik keputusan itu menunjuk kepada kedaulatan wilayah kita sebagai negara. Keputusan BJ. Habibie untuk melakukan plebisit di Timor-Timur, yang mengakibatkan hilangnya propinsi tersebut dari negara kita, diambil tanpa keputusan kita bersama dan ini merupakan “luka politik” yang mungkin tidak akan hilang dari kehidupan kita bersama. Hal itu tampaknya mudah dilakukan, namun sulit dilaksanakan, bukan?

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728