Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Mualim Syafi'i

    Oleh Abdurrahman Wahid

    Kaum muslimin Betawi memang lebih dekat dengan budaya Arab, dibanding dengan kawasan-kawasan lain. Bukan hanya habib dan sayidnya, semuanya keturunan Nabi Muhammad yang harus dimuliakan dan disegani, yang menjadi sebab; juga bukan karena di Jakarta sudah ada kampung Pakojanyangpenuh orangArab.

    Ada yang lebih dalam dari itu. Para ulama Betawi umumnya dididik di Timur Tengah — dulu di Mekkah, dan sekarang kebanyakkan di Mesir. Dengan sendirinya budaya Arab bukan sesuatu yang terasa asing. Ane dan ente sudah menjadi kata ganti diri yang umum dipakal, seperti kula dan sampeyan di kalangan Jawa kowek. Orang asli Tegalparang di Mampang Prapatan lebih mudah menyebut nyahi dari pada mengatakan minum teh, diambil dari istilah Arab syahi untuk “teh”.

    Karena itu, tidak mengherankan jika ulama Betawi disebut Mualim. Bukan lantaran pandai mengemudikan kapal, melainkan karena kerjanya mengajar. Dalam bahasa Arab, arti kata mu 'allim adalah mengajar dan talim berarti pengajaran. Bukan sembarang mengajar, melainkan mengajar ilmu-ilmu agama Islam. Kalau sekadar guru, panggilannya mudarris, sering juga ustadz. Ini adalah istilah yang tidak hanya benar menurut bahasa Arab, tetapi sudah diberi arti khusus sejak dari sononye. Orang Jawa memanggil guru agamanya kiai, orang Minang lebai, di Iran dan Iraq disebut mulla, di Syria, Libanon, dan Mesir dipanggil mu'allim.

    Mualim Syafi'i yang diacarakan kali ini adalah Kiai Haji Abdullah Syafi'i, yang wafat beberapa hari setelah usainya hari raya ldul Adha lalu. Saya memanggilnya demikian karena memang ia disebut demikian ketika saya masih kecil. Gelar kiai baru datang belakangan, ketika berlangsung proses Jawanisasi yang datang ke Jakarta secara merayap.

    Sebagai Mualim, Syafi'i telah memberikan segala-galanya kepada profesi pilihannya itu. Mengajar di surau pada mulanya, lalu membuat madrasah dekat Gudang Peluru di Ball Mataram, ketika jalan beraspal belum menjangkau daerah itu. Tidak cukup mengajar di madrasah, dengan tekun dijalaninya tugas memberikan pengajian umum rutin di hampir semua kampung Jakarta Selatan dan Timur. Pengajian berkala yang membawanya ke kampung yang berbeda-beda, sekarang memperoleh predikat mentereng majelis taklim. Juga tidak lupa di tempat sendiri, pengajian diselenggarakan seminggu sekali. Setelah sekian lama, apa yang diselenggarakannya itu temyata menjadi monumen sendiri di ibu kota tercinta ini.

    Melalui pengajaran dasar-dasar agama kepada orang awam, sang mualim mampu membuat suatu yang sangat berarti di jantung kota metropolitan Jakarta. Apa yang dicapalnya? Menumpulkan dampak negatif dari proses modemisasi. Spiritualitas yang diJajakannya mampu mengatasi kekeringan jiwa manusia, yang terhimpit oleh kehidupan berorientasi serba benda. Solidaritas kuat sesama warga pengajian merupakan penangkal terhadap rasa keterasingan, akibat terurainya ikatan-ikatan sosial lama dalam kehidupan berumah tangga dan bertetangga. Di saat banyak nilai-nilai mulai memudar, ajakannya kepada penghayatan dan pengamalan agama secara tuntas merupakan paduan jelas bagi para pengikut.

    Tetapi, semua itu bukan menjadi suatu yang dimonopoli mualim Syafi'i belaka. Hal itu juga diperankan oleh para mualim Betawi dan kiai non-Betawi di Jakarta. Ke-mualim-an Kiai Abdullah Syafi'i baru tampak jelas jika dilihat pola sikapnya terhadap "tantangan dari luar". Tantangan yang secara fundamental berlawanan dengan ajaran agama yang diyakininya. Ketika Ali Sadikin masih menjabat Gubemur DKIJakarta, Mualim Syafi'i adalah pelopor yang dengan gigih menentang kebijaksanaan mencari dana melalui perjudian. Begitu juga kebijaksanaan penggusuran pekuburan, dari Karet ke Tanah Kusir. Semua sanggahannya berdasar pada ajaran agama, sehingga terasa mencekam.

    Mengapa justru ia bergaul erat dengan Ali Sadikin,walaupun sang gubemur tetap saja mengizinkan perjudian? Apakah sang mualim telah melupakan perjuangan, karena status sosialnya mencapai ketinggian baru? Apakah ia sudah terbuai dengan penghormatan sang gubemur kepadanya?

    Temyata tidak demikian. Sebabnya sederhana saja ia tahu batas peranan yang harus dimainkannya: sekedar mengajarkan pendirian agama. Bukan menentang pemerintah. Juga bukan menyusun kekuatan (mact-vorming) untuk memaksakan pendirian. Kalau pendirian agama sudah dirasa cukup disampaikan, sudah cukup tugas dilaksanakan. Tak perlu rusak pergaulan karenanya, dan tak harus bersitegang leher sebagai akibat perbedaan pandangan. Sikap inilah yang memancarkan kebesaran Mualim Syafi'i karena dari kiai kampung yang kemudian menjadi ulama besar ini muncul keteladanan cemerlang akan perlunnya kesadaran peranan sendiri dalam kehidupan. Memang untuk jangka pendek ia tidak dapat memberantas perjudian. Namun dalam jangka panjang ia memelihara sesuatu yang sangat berharga:budaya politik yang mantap karena ia menggunakan hak untuk berbicara dalam ukuran yang tepat.Bukankah ini hakekat demokrasi?

    Lebih penting lagi siapakah yang tadinya menduga bahwa sikap demokratik itu muncul justru dari garis batas yang diletakkan agama sendiri,yaitu dalam tugas mengajar selaku mualim? 

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728