Tuesday, March 18.

Header Ads

ad728

HADITS DHO’IF

nth
Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum 

matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan 

oleh para Ulama Muhadditsin, 

Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak 

sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak 

pembagiannya, 

Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan 

berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal 

rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita 

dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama 

Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa 

berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan 

hukum thaharah. 

Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 

81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya 

dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan 

hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang 

mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada 

hadits palsu. 

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada 

matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu 

dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita 

menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan 

(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai 

ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan 

keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu 

berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. 

Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku 

maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari 

hadits no.110), 

Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama 

seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap 

mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229), 

Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif 

berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan 

ucapan Rasul saw. 

Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman 

Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka 

membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan 

tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila 

mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman 

dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka 

ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw. 

Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang 

mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai 

derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits 

berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya 

sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum 

matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?. 

Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 

ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut 

: Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah, 

dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. 

(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al 

Atsqalaniy). 

Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 

1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii 

rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits. 

Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii 

lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari 

lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian 

kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam 

syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii 

sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi 

Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia. 

Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan 

pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka 

menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya, 

seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi 

fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami 

dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah 

berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, 

memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini 

sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil. 

Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena 

buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, 

bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang 

ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa 

fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk 

merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan. 

Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si 

penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin 

Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas 

pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad 

dalam terjemahannya? 

Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini, 

bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta 

hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad 

haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits 

yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan 

Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat 

tertuliskan?, mengapa? 

Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan 

saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan 

pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan 

waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya 

cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin 

10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi 

sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya. 

Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak 

ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada 

pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. 

Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya 

(talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada 

pada mereka. 

Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun 

paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci 

dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah 

akan segera diketahui karena banyaknya ulama. 

Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu 

berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana 

ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari 

gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti 

selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula. 

Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia 

mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw. 

Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada 

buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak 

berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang 

bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang 

penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw. 

Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak 

sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang 

demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu 

diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu 

sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat 

hukum semaunya. 

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang 

membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam 

hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau 

berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan 

Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya 

salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya. 

Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru 

bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa 

pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul 

Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, 

maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula 

Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun 

tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul 

Qadir juz 1 hal 433) 

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan 

menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati 

dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi. 

Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus 

hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu 

mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk 

diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka 

dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para 

Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, 

tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh 

diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan 

yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, 

namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya, 

Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : 

“dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah 

terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. 

Walillahittaufiq

Diambil dari Buku Kenali Aqidahmu -  ( Habib Munzir Almusawa)

Post Top Ad

Post Bottom Ad