Header Ads

ad728
  • Breaking News

    BID’AH

     

    Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.

    Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan
    tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat
    buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
    mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
    buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang
    mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits
    no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi
    Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan
    makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
    Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila
    kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas
    islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik
    ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi
    ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian
    ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru
    demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk
    kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah
    makna ayat :
    “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya
    “hari ini
    Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan
    bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,
    Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi
    memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam
    kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya
    islam,
    Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah,
    karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll,
    berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya
    selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian
    turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat
    kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.
    Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan
    dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah
    diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw :
    “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang
    disebut Bid’ah Dhalalah. 

    Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka
    beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya
    dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal
    yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan
    agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).
    Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah
    saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman
    syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk
    sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan
    Tabi’in.

    Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah
    wafatnya Rasul saw?

    Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang
    mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah
    Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :
    “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas
    ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an,
    lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis
    Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh
    Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan
    dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan
    dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd)
    adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau
    telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah
    Alqur’an..!”
    Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung
    daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
    Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
    saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga
    iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
    sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih
    Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
    Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui
    dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
    sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah)
    yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan
    menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit
    onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang
    memulainya.
    Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah
    mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas
    melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah
    yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata :
    “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri
    wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa
    kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang
    Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat
    banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
    sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat
    dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal
    hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak
    Alasshahihain hadits no.329).
    Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan
    sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang
    baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah
    anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui
    bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan
    oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa
    Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
    Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin
    melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya
    memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula
    dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata :
    “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan
    Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan
    nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
    Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di
    Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah
    Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa
    Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).
    Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
    adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna
    Bid’ah?

    Bid’ah Dhalalah
    Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk
    pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti
    penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin,
    nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar
    syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh
    Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan
    muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin,
    bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana
    sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul
    saw.
    Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan
    dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran
    pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada
    perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing,
    melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat
    Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
    Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah
    Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan
    menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.
    Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat
    memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun
    Bid’ah Hasanah.
    Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh
    Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa
    mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul
    saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena
    kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan
    tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul
    pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al
    Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
    Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena
    dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk
    mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al
    Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
    Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak
    dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan
    sejarah Islam ?
    Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra
    yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di
    zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya,
    yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan
    hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih
    mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita
    masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi,
    jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah
    mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah),
    mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa
    keburukan (Bid’ah dhalalah).

    Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan
    Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an,
    sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah
    menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
    Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan
    Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra
    mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra)
    meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
    sependapat dengan mereka berdua”.
    Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih
    menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra,
    hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang
    dijernihkan Allah swt,
    Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka
    barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan
    mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan
    Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah
    perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya
    berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
    Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
    dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi
    Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

    Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
    1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah
    (Imam Syafii)
    Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan
    bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan
    yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar
    bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam
    Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
    2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
    “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi
    berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan
    adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri
    muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak
    sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu
    ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa
    membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
    orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
    barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya
    dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini
    merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir
    Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

    3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy
    rahimahullah (Imam Nawawi)
    “Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
    islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak
    berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang
    dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang
    baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
    pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua
    yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk
    dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
    Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah
    yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
    yang haram.
    Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan
    yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila
    dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu
    syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah
    bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas
    diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum,
    sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”.
    (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

    Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy
    rahimahullah

    Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang
    umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan
    segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau
    pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam
    dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada
    kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna
    keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku
    dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun
    setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
    Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman
    para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?,
    berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia
    tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak
    punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa
    memperdulikan fatwa fatwa para Imam?

    Diambil dari Kenali Aqidahmu -  ( Habib Munzir Almusawa)

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728