Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Kiai lskandar dan Pak Damin

    Oleh Abdurrahman Wahid

    Kiai Iskandar masih muda walaupun sering dituakan oleh orang-orang di sekitamya. Dalam umur belum tiga puluh tahun sudah jadi 'lurah pondok' di Pesantren Lirboyo. Ini tanda kepercayaan almarhum Kiai Marzuki dan Kiai Makhrus kepadanya. Bersekolah SMP Muhammadiyah semasa menjadi santri di pesantren tersebut, sedikit banyak ia menyatukan dalam dirinya dua jenis 'budaya santri': budaya akhlak pribadi serba tasawuf, yang menjadi 'merk' para kiai NU, dan budaya senang bekerja dalam jalur organisatoris untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan, yang menjadi 'cap'nya orang Muhammadiyah.

    Berkembangnya pola tunjang-menunjang antara kedua 'budaya santri' tersebut tambah diperkuat lagi oleh statusnya sebagai pegawai negeri, dus anggota kopri. Ke-kiai-an pesantren harus difungsikan seiring dengan tugas sebagai direktur di sebuah sekolah agama negeri, plus keterlibatan sebagai wakil ketua Majelis Ulama di kabupatennya. Pendekatan manusiawi yang sarat dengan kepemimpinan yang sanggup menyantuni masyarakat agraris di desanya, harus diimbangi oleh pola hubungan dengan guru-guru negeri yang menjadi anak buahnya.

    Akhlak ke-kiai-an yang mampu menyantuni segenap lapisan masyarakat, yang dikembangkan oleh gemblengan yang diterimanya di Pesantren Lirboyo, membawanya juga kepada kemampuan mengelola harta masyarakat dengan penuh tanggungjawab.

    Maka pada usia muda ia terkenal dengan kejujuran finansialnya. Wakaf, infak dan sadaqah adalah harta masyarakat yang sering diamanatkan kepadanya. Juga titipan uang orang banyak untuk diusahakan, dengan cara ia menitipkan kembali kepada para petani dan pengusaha lokal.

    Selain fungsi bermacam-macam itu, ia punya Fungsi yang unik: menjadi clearing house bagi informasi soal perjodohan. Soal menghubungkan pihak-pihak yang akan berjodoh adalah spesialisasinya. Ini didukung oleh reputasinya sebagai orang yang berhasil mencarikan jodoh yang sesuai dan serasi. Ini tentu berkat ketajaman penglihatannya akan watak manusia, status sosial masing-masing dan lain-lain faktor yang harus diperhitungkan dalam soal perjodohan yang sukses.

    Sang kiai juga jadi wasit dalam sengketa harta di kalangan masyarakat, ditambah fungsi kerohanian untuk menolong mereka yang menderita di sekitamya.

    Bukan tanpa pengorbanan Kiai lskandar dapat melakukan fungsi seperti itu dengan penuh. la harus mampu menyesuaikan diri sepenuhnya dengan aspirasi kiai lain di daerahnya. la harus mampu mempelopori penerapan nilai-nilai keagamaan konvensional dalam kehidupan masyarakat.

    la tidak boleh menyimpang dari 'aturan permainan' tersebut. Bila ada orang kawin, ia harus memberikan sambutan standar yang sudah berumur ratusan tahun. Bila ada pengajian, ia harus mencanangkan pentingnya berakhlak konvensional, seperti menganjurkan salat secara tetap, melarang orang berjudi dan seterusnya.

    Di antara nilai yang harus dituntutnya adalah pembagian tugas antara 'kita orang santri' dan 'mereka yang bukan santri'. Tidak usah memusuhi, tetapi tidak pula boleh menggauli mereka secara akrab. Tidak boleh menyantuni dalam soal yang berada di luar persamaan sebagai penduduk yang sama-sama tinggal di satu desa.

    Di hari lebaran, tidak usah bertandang ke rumahnya. Kalau mereka sakit tidak usah dijenguk. Kalau mereka berpesta, tidak usah datang membantu persiapannya cukup datang sebagai undangan pada waktunya saja. Dan begitu seterusnya.

    Dengan kata lain, Kiai lskandar harus mengikuti pola hubungan monolotis kaum santri di pedesaan Jawa: kucilkan mereka yang bukan santri dari pola paguyuban ke-santri-an sejauh mungkin.

    Belasan tahun Kiai lskandar menjalani pola kehidupan seperti ini, hingga secara kebetulan ia menghadapi kejadian yang tidak diduganya sama sekali. Bulan puasa yang lalu, salah satu tetangga yang baru berpindah ke desa itu, meninggal dunia karena sakit. Pendatang baru itu belum pemah bertandang ke rumah Kiai lskandar, sehingga sang kiai tidak tahu dengan tepat apa 'identitas kultural' sang tetangga. Miskomunikasi wajar dalam kehidupan yang semakin kompleks.

    Karena sang tetangga meninggal dunia malam Jumat bulan puasa, secara spontan Kiai lskandar memasukannya dalam kategori orang baik, yang kepulangannya ke rahmatullah akan di terima dengan baik di sisi Tuhan. Prasangka baik yang dibawakan oleb kepercayaan akan sabda Nabi Muhammad ini mendorong Kiai lskandar untuk segera memerlukan datang ke rumah tetangga itu.

    Kiai lskandar menjadi heran ketika dilihatnya hanya sedikit orang berada di tempat Pak Damin, tetangga baru yang meninggal dunia. Tidak ada 'tokoh pengurus jenazah, seperti kebiasaannya. Tidak ada rakyat yang memotong batang bambu, membelah-belahnya untuk dijadikan peralatan mengubur jenazah nanti.

    Tanpa kecurigaan apapun, Kiai lskandar segera 'menggerakkan' rakyat sekitar untuk mengurusi jenazah Pak Damin, dari memandikan hingga ke upacara penguburan keesokan paginya. La memberikan kesaksian jenazah tersebut sebagai orang baik, karena kematian Pak Damin terjadi malam Jumat di bulan puasa. Ketika ia meminta pengokohan orang banyak atas kesaksiannya itu, mereka menjawab secara bermalas-malasan, tidak antusias, menurut bahasa orang kota.

    Kiai lskandar tidak menyangka jauh-jauh apa sebab keengganan itu. Temyata Pak Damin bukan santri. la orang kebatinan, alias Kejawen. Pak Damin diidentifisir sebagai orang luar yang tidak perlu disantuni, menurut tata nilai dan pola hubungan serba monolit di pedesaan.

    Segera Kiai lskandar melancarkan jawabannya sendiri atas kejadian tersebut. Untuk menghilangkan salah pengertian orang banyak, demikian tutumya.

    Di mana-mana ia jelaskan perlunya orang kebatinan seperti Pak Damin juga disantuni kalau meninggal dunia.Orang yang bukan santri juga harus diberlakukan dengan baik dan terhormat dalam pergaulan hidup, kalau mereka memerlukan santunan.

    Kalau kaum santri dapat berbuat begitu, kalaupun orang bukan santri tetap pada keadaan semula, anak cucunya toh akan merasakan pentingnya arti santunan tersebut — dan akan melihat kegunaan menjadi orang santri.

    Entah karena perhitungan praktis bahwa ia toh dapat menggerakkan orang banyak untuk berbuat demikian, entah karena sudah terlanjur melakukan hal yang sama, Kiai lskandar lalu mengambil sikap menyimpang dari sikap monolit kaum santri di desanya.

    Yang jelas, perubahan sikap yang bersumber pada prasangka baik dan kepercayaan akan 'status baik' jenazah yang meninggal dunia malam Jumat bulan puasa itu telah membawakan pola hubungan baru di desa tersebut.

    Ini mungkin tidak disadari sejauh itu oleh Kiai lskandar sendiri. Bagaimanapun juga, kejadian ini menunjuk kepada salah satu landasan kehidupan para kiai: rasionalitas tersendiri, yang tumbuh dari kepercayaan keagamaan mereka.


    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728