Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Kiai Khasbullah dan Musuhnya

    Oleh Abdurrahman Wahid

    Kiai Khasbullah Salim almarhum memang prang luar biasa. Orang Sedan (Rembang) yang kemudian tinggal di Jombang ini senang dengan keterusterangan sikap dan ucapan. Lugas dalam berbicara, teguh dalam sikap, berani melawan yang dianggap tidak benar.

    Sering kali hanya pakai "celana kiai" (celana dalam 'midi' hanya sampai sedikit di bawah lutut, biasanya dibuat dari kain belacu) sonder kaus dalam, kiai yang satu ini menganggap penegakan bukum agama sebagai inti perjuangan hidupnya. Keseluruhan hidupnya diabdikan untuk mengajar orang banyak di kampungnya yang akan banyak aspek kehidupan individual dan masyarakat yang belum sesuai dengan perintah Islam. Pendekatanya langsung ke pokok persoalan. Tidak selesal dengan adu argumentasi, kalau perlu adu jotosan. Mula-mula mendirikan ranting NU di Desa Denanyar, harus berkelahi fisik karena diejek terus-menerus oleh 'orang abangan' di tempat itu.Tidak heranlah sewaktu dia pindah ke desa Rejosari (delapan kilometer ke barat daya), segeralah ia terlibat dengan kasus baru yang dihadapinya. Di desa yang bersebelahan dengan Gadingmangu, muncul gerakan baru bemama Darul Hadith. Di bawah pimpinan 'Amirul Muloninin' Abu Hasan Ubaidah, gerakan itu kini memiliki nama lain, Islam Jama'ah, yang sempat membuat heboh beberapa waktu yang lalu.

    Di tahun-tahun limapuluhan belum ada Majelis Ulama Indonesia, jadi Kiai Khasbullah harus berjuang sendirian melawan 'bahaya dari timur' desanya itu. Sesuai dengan kelugasan seorang agamawan yang berpegang teguh pada keyakinan agama yang dianggapnya benar, ia segera mengajukan tantangan berdebat.

    Diceritakan pada penulis, perdebatan berjalan dua kali, di muka umum dalam rapat terbuka di atas mimbar. Pertama kali Kiai Khasbullah tidak berhasil mematahkan argumentasi lawan, ia langsung berteriak 'Siapa yang benar?', dan publik langsung membenarkan dia. 'Satu nol untuk pihak saya,' katanya.

    Kali dua, pihak Darul Hadith tidak mau dengan syarat begitu itu. Kembali adu argumentasi berlangsungsecara bertele-tele. Saling menyalahkan.'Setelah capek saya berdebat dan dia kelihatan tidak akan menyerah, langsung saya pukul dia. Saya menang lagi, dua nol untuk golongan saya, 'ucap kiai kita ini dengan polosnya.

    Sudah tentu perkembangan gerakan Ubaidah itu tidak terhenti hanya dengan skor dua nol itu. Homogenitas paguyubannya dan kohesi masyarakatnya membuat Darul Hadith semakin kokoh di Gadingmangu.

    Bagaimana halnya dengan Kiai Khasbullah? Beliau mengatakan kepada penulis beberapa waktu sebelum wafatnya beberapa tahun yang lalu: "Biar saja. Gurunya Ubaidah dulu, almarhum Kiai Zaid Semelo, pemah bilang kalau kenakalan Ubaidah tidak usah digubris. Nanti 'kan hilang sendiri kenakalan itu kalau dia mati. Ini omongannya wali lho! Lagi pula sudah ada saling pengertian saya dengan pengikutnya di Gadingmangu. Tidak kita apa-apakan, asal mereka tidak tabligh ke desa lain di sekitamya, serta tidak membeli tanah di desa saya ini. Biar saja, becik ketitik ala ketara.

    Tampak kiai yang sepintas lalu tampak kasar sikapnya ini, karena kelugasannya dalam berbicara dan bersikap, menyimpan kearifannya sendiri. Pertentangan pendapat tidak semuanya diselesaikan; dan lebih-lebih tidak akan terselesaikan dengan melarang begini atau begitu. Adakalanya toleransi lebih memberikan hasil, sebagai upaya menahan perluasan pengaruh lawan.

    Dalam bahasa politik luar negerinya mendiang Dulles, sikap menahan perluasan pengaruh ini dilstilahkan sebagai containment policy. Cuma saja,Dulles tidak toleran kepada pihak lawan, main kepung saja dengan fakta-fakta pertahanan. Karena ini tidak searif Kiai Khasbullah.

    Mungkin Majelis Ulama Indonesia, yang pemah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melarang Islam Jama'ah, dapat belajar banyak dari 'strategi perjuangan' model Kiai Khasbullah ini. Setidak-tidaknya, toleransi kepada gerakan-gerakan 'sempalan' (splinter group) dalam Islam harus diperhitungkan sebagai salah satu jalan terbaik untuk mendewasakan sikap hidup umat secara keseluruhan.
    Bukankah kasihan umat yang harus melihat musuh di setiap pojok jalan dan seluruh penjuru angin?

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728