Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Hasil Sebuah Pendekatan Budaya

    Oleh: Abdurrahman Wahid

    Beberapa hari yang lalu, penulis berziarah ke makam Kebo Kanigoro dan Syekh Maulana Maghribi, di pantai dekat Ampel dan Sukoharjo. Ziarah itu untuk menunjukkan penghormatan kepada leluhur penulis, yang ia yakini dikubur di sana. Baik Kebo Kanigoro maupun Kebo Kenongo, menurut legenda adalah putra Brawijaya V di Majapahit. Setelah ia ”dongkolan” (menjadi mantan) raja/prabu di Majapahit menurut legenda ia lalu menjadi Sunan Lawu. Kedua anak itu lalu dititipkannya kepada Ki Pengging Sepuh, yang menjadi panglima angkatan perang di bawah Sultan Trenggono dari Demak. Ki Pengging Sepuh itu adalah Habib Abdurrahman Al-Basaibani, yang dikuburkan di Segapara, desa Pemantren Jero (Rejoso, Pasuruan). Ini adalah legenda yang penulis dengar,dan menurut legenda itu pula penulis adalah keturunan Kebo Kanigoro melalui anaknya, Maulana Maghribi.

    Apa yang menarik hati penulis, adalah kenyataan bahwa para penduduk dan juru kunci kedua makam itu menggunakan istilah Allah dalam doa-doanya yang menggunakan bahasa Jawa. Ini berarti tidak benamya anggapan bahwa (orang kejawen/kebatinan semuanya bukan santri). Generalisasi dalam hal ini menjadikan kita salah pandang, dan menumbuhkan anggapan tidak benar dalam pandangan kita. Jadi kita sekarang memiliki 3 macam penganut Islam : kejawen/kebatinan yang tidak menjadi santri, kejawen/kebatinan yang merupakan santri, tetapi tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam (Syariah) dan santri “yang lengkap” karena melaksanakan syariah secara utuh . Pengenalan seperti ini tentu saja masih kontroversial dan ditentang orang.

    Penelitian akan hal ini, tentu saja sangat diperlukan dalam kehidupan bangsa yang memiliki banyak keragaman dan pluralitas yang sagat tinggi. Kita harus ”berani” melihat kenyataan sebagaimana adanya, dan memisahkan hal itu dari keyakinan kita akan kebenaran. Kemampuan membedakan “yang salah” dari “yang benar” dalam keyakinan kita itu, dan tidak melarang kedua-duanya adalah sari pandangan beragam dan pluralitas. Kitab suci Al-Qur’an telah pula membenarkan sikap ini: “tiap kelompok dengan dengan apa yang dimilikinya selalu berbangga/bersenang-senang hati “(kullu hizbin bina ladaihi farihun) sebagai fanatisme sempit yang ditolak oleh Allah.

    Sikap seperti ini diperlukan, karena kita bukanlah bangga yang membenarkan diri sendiri belaka, melainkan, sanggup menghargai pandapat orang lain, yang terkadang betentangan dengan pendirian kita sendiri. Pandangan ini memang perlu ditekankan karena pluralitas kita sangat tinggi dari sudut agama, budaya, bahasa, ada kebiasaan maupun politik. Ini terbawa oleh pendidikan, letak geografis maupun cara hidup kita yang sangat berbeda dari satu dengan lain. Proses sejarah telah menjadikan kita bangsa yang satu, ini berarti “keharusan” menerima kenyataan sebagaimana apa adanya, dan menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai kekayaan bangsa bukanya sebagai “penghambat” bagi sebuah kebenaran yang kita yakini masing-masing.

    Dalam hal ini, sikap untuk memahami orang lain sangat diperlukan, guna menjaga “keutuhan bangsa”. Jika ini diganggu sedikit saja, maka hal itu akan menimbulkan reaksi balik yang tidak tahu kita “akan lari kemana”. Karenanya, kita harus sangat berhati-hati dan tidak membuat hal-hal yang akan menganggu keutuhan bangsa kita. Peristiwa yang terjadi di Universitas Trisakti dan Semanggi beberapa tahun yang lalu, menunjukkan kepada kita bahwa cita-cita menegakkan pluralitas dan demokrasi akan diperjuangkan bangsa ini, dengan irama yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Setiap kejadian yang menimpa bangsa kita, haruslah dilihat dari perspektif seperti ini, dan kegagalan untuk memahaminya dapat mengakibatkan reaksi balik yang tadinya kita tidak perhitungkan. Kekerasan yang terjadi itu, akan menimbulkan reaksi baru, dengan akibat-akibat traumatiknya.

    Peritistiwa penjarahan dan perkosaan yang terjadi di Jakarta pada Mei 1998, mau tidak mau memperlihatkan hubungan kesejarahan yang ada dari dua kejadian sebelumnya. Omong kosong jika pemerintah kita berbicara tentang perlindungan kepada seluruh warga negara di negeri ini, sesuai dengan “tuntutan” undang-undang dasar kita sendiri, dan “rasa kesejarahan” yang kita miliki bersama. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Bagaimana mungkin, bangsa yang tampaknya begitu damai dan saling tenggang rasa, dalam waktu sekejap saja dapat menjadi bangsa yang “buas” mengandalkan diri kepada kekerasan. Akibat dari kejadian yang sampai sekarangpun masih terasa, kita harus menyusun kembali kehidupan sebagai bangsa dan “kembali” ke jalan semula.

    Hal seperti inilah yang untungnya membuat kita “sadar” akan keutuhan diri sebagai bangsa. Manipulasi dan kecurangan yang terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2004 juga sangat terkait erat dengan hal itu. Bahwa sikap kita bersama untuk “menerima” hasil-hasil itu tanpa kekerasan, tidak berarti bahwa kekesalan dan kejengkelan mengenai hal itu tidak tumbuh dalam masyarakat. Di mana-mana penulis mendapati sikap yang berbeda dari sikap resmi pemerintah, sehingga tidak bijaksana untuk menganggap apa yang terjadi itu “sudah benar”. Penulis dan aliansi parpol-parpol yang berjumlah belasan itu mencoba “menerima damai” atas hasil-hasil pemilu legislatif dan pemilihan umum Presiden pada tahun yang sama.

    Jelaslah dari apa yang diuraikan diatas, bahwa oleh sejarah kita harus bersikap hati-hati dalam urusan yang menyangkut keutuhan bangsa. Adagium ini sudah terbukti berkali-kali dalam kehidupan bangsa kita semenjak mencapai kemerdekaan dalam tahun 1945. Kenyataan sejarah ini harus selalu diingat oleh siapapun, berarti kita tidak boleh bersikap “asal menang” belaka: apa yang terjadi dipermukaan, belum tentu berlangsung pula dibawahnya. Kesadaran seperti ini sangat diperlukan, dan inilah yang menentukan kualitas kepemimpinan yang dimiliki bangsa kita di suatu saat. Kalau hal ini kita lupakan, dan lalu kita menyesal atas apa yang terjadi selengkapnya, tentu merupakan “kemunduran” yang harusa kita pikul bersama.

    Namun pendekatan budaya menentukan lain, berdasarkan pendekatan ini justru kita harus memacu sebagai bangsa untuk tidak selalu mengandalkan diri kepada pendekatan politis yang senantiasa berdasar kepada kalah menang, dalam percaturan kekuatan maupun melalui proses-proses lain seperti pemilu. Karena itulah kemenangan physic (semu) yang dicapai dapat saja sewaktu-waktu menjadi “kekalahan” sebagai kesalahan langkah dalam sejarah yang tidak kita ingini bersama. Akankah kita berulang-ulang harus mengalami hal-hal seperti itu? Apakah tidak lebih baik kita mengambil sikap seperti apa yang dilakukan Vajpayee di India saat ini, yang menerima kekalahan dalam pemilu secara jantan, demi keutuhan India sendiri? Sikap mengalah kepada lawan seperti itu, untuk menjaga esensi demokrasi, adalah sesuatu yang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728