Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Menikmati Pagelaran Wayang Kulit

    Oleh: Abdurrahman Wahid

    Dua minggu lalu, pada permulaan rangkaian acara Harlah ke-6 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kawan-kawan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tersebut menyelenggarakan pagelaran wayang kulit di rumah penulis, Ciganjur. Dalangnya adalah Ki Enthus Susmono, dengan bintang tamu trio Yati Pesek, Timbul dan Marwoto. Lakon yang digelar adalah “Bale Sigolo-golo”. Inti ceritanya adalah bagaimana rencana Adipati Destrarata, untuk mengembalikan anak-anak Prabu Pandu (Pandawa) ke tahta kerajaan di Astina. Namun, Patih Sengkuni “berhasil” mengagalkan hal itu dengan cara membuat Pandawa mabuk dengan minuman keras dan terbaring tidak sadarkan diri di atas balai-balai (bale sigolo-golo) untuk merayakan kenaikan tahta Puntadewa tersebut. Bale Sigolo-golo itu dibuat dari bahan yang mudah terbakar dan kemudian Sengkuni membakamya. Baik Pandawa dan Ibu mereka, Kunthi Talibrata, diselamatkan oleh seekor musang putih dan Bratasena.

    Bukankah dengan memegang tahta ditampuk kekuasaan kerajaan Astina, tidak lain dimaksudkan untuk mempunyai pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat? Bukankah ini merupakan permulaan dari “Monarki Konstitusional” seperti terdapat di banyak negara Eropa Barat? Bukankah dengan menentukan para Raja-Ratu harus mengutamakan kepentingan rakyat, berarti kedudukan Raja-Ratu sebagai simbol/lambang pemerintahan monarki negara-negara tersebut, lalu berwatak demokratis, dengan “mengakui dan tunduk kepada pemerintahan “orang-orang biasa” yang bukan bangsawan?.

    Lakon itu dipilih penulis, karena ia melambangkan permulaan perjuangan “membela kebenaran”, yang menyangkut hak-hak pribadi maupun hubungan perorangan para Pandawa dengan masyarakat. Permulaan perjuangan seperti itu, menurut penulis adalah proses yang di jaman ini dianggap demokratisasi sebuah negeri. Upaya-upaya yang dilakukan untuk demokratisasi ini, tentu saja atas persetujuan PKB, yang berintikan kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan undang-undang. Dan karena itulah penulis mengajukan usul tersebut.

    Secara moral, antara apa yang dilakukan para Pandawa di satu pihak dan proses demokratisasi kita di pihak lain saat ini, menunjukkan persamaan hakiki. Walaupun dalam pengertian yang berbeda satu dari lainnya, keduanya mempunyai persamaan hakiki berupa perjuangan untuk menegakkan demokrasi di negeri kita. Bahwa ada hal-hal lain dari cerita itu yang dapat diambil sebagai kesimpulan, sama sekali tidak masuk dalam pemikiran penulis. “Kenyataan” itu juga dirasakan oleh Ki Dalang dalam pagelaran tersebut, sebagaimana tampak dalam pagelaran itu sendiri. lain-lainnya adalah hal umum yang terjadi dalam sebuah pagelaran wayang kulit.

    Kritikan demi kritikan yang diajukan kepada sistem politik yang ada, minimal pada para pelaku di dalamnya, sering dilontarkan oleh Ki Dalang dan oleh para bintang tamu. Dalam suasana seperti itulah adik penulis, Ir. Sholahudin Wahid, dan Ketua MPR-RI Prof. DR. Amien Rais dan istrinya tampak hadir, tentu saja juga penulis sendiri, sempat “ dikocok” oleh Ki Dalang dan para bintang tamu. Yang “lepas” dari hal itu adalah Prof. DR. S. Budi Santoso, Ketua Partai Demokrat, yang sudah pulang dari lahan pagelaran itu, sebelum Ki Dalang dan para bintang tamu sempat melontarkan gurau mereka. Gurauan demi gurauan yang dilontarkan itu, pada hakikatnya menyembulkan kemampuan untuk menertawakan diri sendiri. Sesuatu yang memang inheren dalam sebuah pagelaran kultural, seperti yang disajikan di Ciganjur malam itu.

    Mungkin kemampuan mentertawakan diri sendiri itulah, menjadi salah satu sebab kita masih rukun sebagai bangsa, walaupun demikian besar perbedaan budaya dalam kehidupan bangsa ini. Kemampuan itu “mengimbangi” kebolehan mengajukan kritik atas “hal-hal salah” yang kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat bangsa.

    Dalam pagelaran wayang kulit itu juga ada sesuatu yang penting, yaitu adanya transplatansi panyajian sebuah kehadiran budaya dari lahan budaya lain. Transplantasi budaya Jawa yang diikuti dengan cermat, adakalanya juga melalui sikap penuh ketidakmengertian para hadirin yang hadir dari budaya-budaya lain, seperti sistem budaya Betawi. Mungkin, hal itu juga dilakukan oleh karena “kesopanan” antara berbagai sistem budaya tersebut yang mencema pelontaran-pelontaran budaya dalam bentuk berbeda-beda itu.

    Pagelaran wayang kulit itu, adalah sebuah peristiwa budaya yang disajikan kepada publik secara terbuka, dengan didalamnya ada dua buah sajian yang penting untuk diketahui. Pertama, sajian tentang sistem politik yang ada, yang dilaksanakan secara “ tidak benar” dalam kehidupan bangsa, seperti terjadinya KKN di hampir sebuah bidang kehidupan, dan pelanggaran undang-undang oleh Komite Pemilihan Umum (KPU), dengan keputusannya untuk “melakukan ganjalan” bagi pencalonan diri penulis, untuk pemilihan umum Presiden-RI tanggal 5 Juli 2004 ini. “Pelepasan” uneg-uneg ini dapat dipahami sebagai sebuah “pemyataan” kritikan secara kultural maupun politis bagi kesalahan bangsa, tampak “rasa pahit” dan kemarahan kita. Di sinilah terletak keunggulan wayang kulit atas kritikan politis.

    Hal kedua yang dapat juga disimpulkan dari pagelaran wayang kulit itu, adalah kemampuan kita utnuk melestarikan salah sebuah lontaran-budaya (cultural outburst) yang menjadi pelepasan keadaan kita yang masih dihinggapi kesalahan-kesalahan itu. Kalau karya-karya Victorio De Sica dan kawan-kawan melalui film yang mereka buat segera setelah Perang Dunia II di Italia sering disebut sebagai aliran realisme sosial baru, maka wayang kulit sebagai medium kultural lama, merupakan hal yang harus kita lestarikan. Dengan melakukan hal itu, kita juga memberikan sumbangan nyata untuk mengembangkan dan melanggengkan kehidupan budaya bangsa ini dari masa ke masa.

    Demikianlah “sebuah kejadian kecil” dalam kehidupan kita dapat saja menandai adanya ‘proses besar” dalam kehidupan kita. Hal ini, tentu saja “sejajar” dengan proses pemyataan rasa keberagaman yang kita jalani saat ini. Subumya kelompok-kelompok kesenian dan pendidikan Islam, umpamanya saja merupakan hal yang tidak dapat dibantah oleh siapapun sekarang ini. Begitu juga tumbuh subumya berbagai bentuk peribadatan orang-orang Nasrani, menunjukkan hal yang sama. Kenyataan inilah yang seharusnya membuat kita bersama gembira, selama tidak ada ekses-ekses penyempitan pandangan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Proses itu sendiri dapat saja berkembang menjadi sesuatu yang akan menyempitkan, atau justru melebarkan perasaan kita sebagai umat beragama.

    Nah, begitu banyak hal yang dikemukakan di atas dari sebuah pagelaran wayang kulit (dan tentu saja dari pagelaran-pagelaran lain), sebagai sebuah peristiwa budaya. Hal inilah yang membuat kita dapat melestarikan “budaya bangsa”, dalam perjalanannya yang sangat panjang. Tentu saja, jika kita semua memandangnya dari “sudut budaya”, hal yang kita lakukan selama ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah “peristiwa kecil”. Walaupun hal itu juga dapat dilihat dari sudut-sudut lain seperti sudut pandangan politik, sudut dialog antar agama dan sebagainya. Semua itu merupakan kekayaan bangsa yang harus kita lestarikan di masa ini dan masa depan. Di dalamnya ada proses memelihara dan merubah sesuatu yang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728