Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Ketat Tetapi Longgar

    Oleh Abdurrahman Wahid

    Kiai pantai utara Jawa ini terkenal keras sikapnya, kaku pikirannya, dan ketat dalam perumusan pendirian keagamaannya. Entah di sebelah barat, seperti di daerah Cirebon, entah pula di timur.

    Keyakinan agama para kiai pesisir itu kokoh, sekokoh batu karang yang sesekali menghiasi lepas pantai mereka yang dangkal. Hukum agama yang mereka rumuskan berwatak tegar, sedikit sekali mempertimbangkan keadaan mannusiawi masyarakat di mana mereka hidup.

    Tidak heranlah jika Kiai Wahab Sulang dari Rembang sempat membuat heboh di kalangan yang sedemikian tangguh keyakinan dan ketat perumusan hukum agamanya.

    Bagaimana tidak heboh, kalau istrinya yang anggota DPRD itu termasuk yang paling asyik dan getol mengikuti acara non-santri di pendopo kabupaten. Sudah fraksinya F-PP, masih campur baur lagi dengan nyonya-nyonya Golkar dan Kopri dalam acara 'maksiyat' yang berupa tarian-tarianJawa gendingan. Bagaimana tidak geger kalau istrinya kian kemari tanpa 'mahram' yang mengawal, sering dalam rombongan yang berisi para pria saja.

    Pola tingkah laku 'non-santri' seperti itu tidak heran sebenamya kalau datang dari Kiai Wahab Sulang. Karena memang ia tidak pemah konvensional. Tindakannya sering kali timbul dari spontanitas sendiri saja.

    Sewaktu istrinya baru mendapat pembagian sepeda motor (dengan pembayaran kembali secara diangsur, tentunya), kiai kita ini segera menggunakannya. Sebagai akibat ia menabrak sebuah rumah. Sepeda motor rusak dan ia sendiri luka-luka. Penjelasan kiai: "Habis saya pakai rem kaki".

    "Lho, rem kaki 'kan memang harus dipakai dalam hal ini, Kiai."

    "Ya, tetapi maksud saya bukan begitu: saya mengerem hanya pakai kaki saja. Karena belum tahu bagaimana dan di mana remnya."

    Menarik untuk dikaji, bagaimana kiai tidak konvensional seperti ini masih diikuti orang. Mengapa ia masih di terima di lingkungan sesama kiai? Mengapa ia tidak diserang dan 'disensor' oleh klai-kiai lain? Mengapa dibiarkan saja ia memberikan pengajian umum, memberikan fatwa hukum agama kepada yang datang memintanya, dan melakukan fungsi ke-kiai-an secara penuh?

    Apakah hanya karena ketenarannya sebagai orang 'jaduk' yang kebal senjata tajam dan tidak mempan peluru? Kemampuannya mengobati orang dengan do'anya yang mustajab?

    Temyata tidak demikian persoalannya. Ada sebuah jawaban yang menunjukan lentumya hubungan antara sesama kiai di pedesaan Jawa. Sebabnya terletak pada kesanggupan Kiai Wahab yang eksentrik itu untuk secara minimal mengikuti garis bersama, sedangkan pada saat yang sama mengikuti pola berpikir tidak konvensional itu.

    Dalam forum yang merumuskan hukum agama, Kiai Wahab terkenal sama keras pendiriannya dengan para kiai lainnya. Sama ketat perumusan hukumnya.

    Sikap begini terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut dogma keagamaan: ia mengikuti konsensus dalam hal yang sudah ditetapkan, dan dengan demikian ia mengikuti pola umum sikap para kiai secara nominal.

    Tetapi sikap di atas tidak dapat membatasi Kiai Wahab Sulang hanya pada pendekatan legal-formalitis belaka, tanpa mampu mengembangkan sikap adaptif terhadap kebutuhan masa. Dan kehebatan kiai yang ini justru terletak dalam kemampuannya mencari landasan keagamaan bagi sikap yang longgar terhadap kebutuhan manusiawi.

    Anda butuh transfusi darah, tetapi takut hukum agamanya haram menerima donasi darah orang lain? Sikap yang salah, menurut Kiai Wahab. Orang Islam harus bertolong-tolongan, bukan? Allah 'kan berfirman 'bertolong-tolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan!'

    "Ya, kiai, memang demikian, tetapi bukankah donor darah menyangkut soal hubungan kekeluargaan dan sebagainya?"

    "Sampeyan ini tidak ingat firman 'permudahlah oleh kalian, jangan persulit' (yassiru wa la tu'assiru)! Asal tujuannya baik, dan untuk menolong manusia lain, apa salahnya?"

    Untuk manusia kosmopolitan, sikap seperti ini bukanlah barang baru. Tapi pentingnya sikap ini baru dapat dirasakan dalam situasi di mana pendidikan non-agama masih dilihat dengan penuh kecurigaan; dan di mana segala sesuatu justru ditinjau dari rumusan legal-formalistik hukum agama.

    Dan justru di sinilah letak nilai penting dari sikap Kiai Wahab tersebut: sikap untuk merumuskan kembali hukum agama dengan mempertimbangkan kebutuhan manusiawi masyarakat. Jadi, sikap untuk meninjau kembali keseluruhan wawasan legal - formalistik itu sendiri. Bukankah ini titik tolak pandangan hidup serba humanistik yang kini begitu dipuja orang?

    Tetapi Kiai Wahab memiliki kelebihan atas semua orang humanistik dan kosmopolitan, yaitu bahwa benih-benih humanistisnya secara kongkrit dilandaskannya pada keyakinan agama dan kebenaran firman Allah; sedangkan kita justru sering mempertentangkan antara keduanya. Kelebihan ini harus diakuinya lebih-lebih karena ia dimiliki oleh kiai desa yang tidak dapat menggunakan rem sepeda motor. •

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    ad728