Kebenaran’ dan Penolakan Atasnya
Pada suatu ketika, penulis dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang terus menerus
‘mengganjal’ hubungan mesra antara dirinya dengan orang beragama lain.
Pertanyaan itu adalah: apakah batas dan hubungan antara kebenaran sebuah
keyakinan dengan pergaulan antara sesama penganut agama dalam konteks negara
Republik Indonesia ?
Pertanyaan ini haruslah memperoleh jawaban yang jujur, karena sendi-sendi
kenegaraan kita sangat tergantung kepada jawaban itu.
Jika kita menggunakan ‘kerangka penuh’ sebagai
seorang muslim saja, kita akan menjawab: persetan dengan semua hubungan antara
diri kita sendiri dengan para penganut agama-agama lainnya. Kita hanya akan
melihat pentingnya pencapaian hubungan dalam pola ‘sempit’, yaitu antara
seorang muslim dan akidahnya. Sikap sebagai seorang muslim, lalu menjadi sangat
arogan dalam negara kita hidup. Akhimya, kita hanya mau tahu kebenaran agama
sendiri, dan menjadi puas ketika ‘mengalahkan’ agama lain.
Arogansi seperti inilah yang menjadikan kita
berstandar ganda dalam bemegara. Di satu pihak, kita memerlukan negara untuk
tetap hidup. Di pihak lain, kita acuh tak acuh terhadap eksistensi/wujud negara
ini. Padahal, salah satu cara untuk mempertahankannya adalah memahami watak
kemajemukan hidup beragama di negeri itu, yaitu dengan bersikap
toleransi/tenggang rasa antara sesama agama yang hidup di negara tersebut.
Karenanya, pluralisme yang ditolak oleh Munas ke-7 Majelis Ulama Indonesia
(MUI) baru-baru ini, justru memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan
toleransi, yang sebenamya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba
majemuk dalam kehidupan negara kita.
Sebagai pemimpin formal Rebuplik Indonesia
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam percakapan dengan penulis baru-baru ini
bertanya: “Kalau saya mengambil sikap hanya berpegang pada ajaran Islam yang
‘resmi’, bukankah saya akan dipersalahkan jika hadir dalam sebuah peringatan
Hari Natal? Bukankah lalu saya harus mau menghapus tradisi baik yang sudah
berjalan puluhan tahun? Dan bukankah saya lalu menyalahkan sikap para Presiden
setelah kita merdeka, yang selalu hadir dalam acara-acara seperti itu? Bukankah
dari dulu hingga sekarang, saya tidak mengikuti acara peribadatan Kristen?”
Penulis tidak menjawab deretan pertanyaan tersebut, karena jawaban kekanak-kanakan
akan merusak tradisi sangat baik yang dihadirkan oleh hubungan mesra antara
sesama agama yang hidup di negeri kita. Jawabannya sudah jelas, tidak perlu
penulis ulangi di sini.
Bahkan baru-baru ini Presiden Bush dari
Amerika Serikat, menghadiri perayaan yang dilakukan kaum muslimin di negaranya.
Bukankah ini kebalikan dari negara kita? Sesuatu yang justru harus diabadikan
di negara kita, malah dijauhi dengan keputusan yang dangkal oleh sebuah forum
semulia Munas MUI. Seharusnya ‘tradisi baik’ ini dikembangkan lebih jauh tanpa
harus melemahkan akidah kita sendiri. Penulis yakin bahwa sikapnya untuk hadir
dalam berbagai upacara keagamaan oleh agama-agama yang berlainan, tidak akan
‘mematahkan’ keyakinannya sendiri sebagai seorang muslim.
Di sinilah terletak saripati sikap beragama
yang benar, seperti saat kita melaksanakan firman Allah dalam kitab suci
Al-Qur’an “Mudah-mudahan kedamaian menyertainya, di hari kelahirannya” (salamun’alayhi yauma mulida). Siapapun
juga akan tahu, ayat suci tersebut ditujukan kepada Nabi Isa AS, terlepas dari
kenyataan bahwa ia dinyatakan sebagai ‘Anak Tuhan’ atau bahkan Tuhan oleh
orang-orang Kristen jauh sebelum Islam sendiri lahir di dunia ini. Keyakinan
bahwa Nabi Isa adalah ‘Anak Tuhan’ atau Tuhan, bukanlah urusan kita. Justru
sikap untuk memaksakan tafsiran sepihak akan hakikat diri tokoh tersebut, akan
meracuni hubungan mesra antara kaum muslimin dan kaum nasrani. Penghargaan
kepada kaum non-muslim oleh kaum muslimin, tidak berarti menunjukkan kita telah
meninggalkan akidah kita sendiri, melainkan justru menunjukkan kedewasaan
pandangan kita di mata mereka. Kenyataan sekecil ini saja, menunjukkan bahwa
pandangan ‘terlalu formal’ tanpa memperhatikan perasaan orang lain, adalah
sikap kekanak-kanakan yang perlu dikikis habis.
Harus diakui umat Islam terbagi menjadi dua
dalam bersikap terhadap agama lain. Jika pimpinan MUI tetap ‘terbuai’ oleh
sikap ‘harus’ menyatakan kebenaran sendiri, maka kaum muslimin akan terjebak
dalam formalisasi sikap yang tidak dikehendaki. Itulah sebabnya, mengapa para
pendiri Republik Indonesia berkeras mengatakan bahwa negara ini bukanlah sebuah
negara agama. Lalu apakah para pemimpin Islam waktu itu seperti: Ki Bagus
Hadikusumo dan KH. Kahar Muzakir dari Muhammadiyah, AbikusnoTjokrosuyoso dari
Serikat Islam, Achmad Subarjo dari Masyumi, AR. Baswedan dari Partai Arab
Indonesia, KH. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama dan H. Agus Salim, adalah
tokoh-tokoh gadungan yang tidak mewakili golongan Islam?
Jelaslah, kaum muslim pendiri Indonesia berpandangan
luas mengenai hubungan timbal balik dengan para pengikut dan pimpinan
agama-agama lain. Selama lebih dari empat dasawarsa, kita hidup dalam tradisi
saling menghormati. Mengapakah kita lalu harus meninggalkan sikap tersebut,
padahal tidak ada keharusan untuk melakukannya? Bukankah sikap apriori, yang
dalam hal ini tidak mau mengakui kehadiran agama-agama lain dalam kehidupan bemegara
kita, adalah buah dari ‘kesombongan’? Mengapakah kita harus menerima ‘pandangan
kaku’ seperti itu, yang dimulai oleh segelintir orang yang ‘menggunakan’ MUI
secara tidak wajar? Bukankah itu adalah sikap tergesa-gesa dari mereka yang
menggangap diri sendiri sebagai pihak paling berhak menafsirkan ‘kebenaran’
ajaran Islam?
Sebuah sikap untuk ‘mencuri-curi’ ajaran
Islam dari lingkupnya yang sehat, menunjukkan sikap arogan yang harus ditentang
habis. Tindakan ‘sembunyi-sembunyi’ itu dilakukan untuk mempertahankan sebuah
versi kebenaran, karena belum tentu dimaui oleh mayoritas bangsa. Siapapun
orangnya dan darimana pun asalnya, tidak lagi menjadi penting bagi kitas
semua.Penulis sendiri yakin, jika hal itu dibuat dalam sebuah referendum,
mayoritas kaum muslimin akan menolaknya. Di sinilah kita memerlukan demokrasi
dalam artian sebenamya, dalam kehidupan kelompok besar seperti bangsa kita.
Pemyataan Din Syamsuddin dalam siaran radio
niaga Elshinta,
minggu lalu, bahwa ia akan mencoba melerai/menjembatani perbedaan antara yang
menyetujui dan menolak ‘fatwa’ MUI itu, adalah sesuatu yang sebenamya tidak
diperlukan. Sebab arogansi yang sudah diperlihatkan MUI telah menyadarkan kita,
agar tidak mudah ‘tertipu’ terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam.
Sebenamya, dari peristiwa-peristiwa itu
hanya ingin menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah proses lain yang tidak kalah
penting, yaitu proses melestarikan dan membuang, yang sering terjadi dalam
sejarah umat manusia, bukan?