Bersatu dalam Menuntut llmu
Oleh Abdurrahman Wahid
Kiai Fatah dan Kiai Masduki adalah dua orang di antara sekian orang kiai yang hidup di desa Tambakberas. Bersama-sama, kesemua kiai itu menghidupkan kegiatan keagamaan dan mengelola pesantren di desa tersebut, sebagai amanat Kiai Wahab Chasbullah.
Kiai Fatah tinggal di kompleks utama Bahrul Ulum itu, di sebelah timur sungai yang membelah dua desa yang terletak dua kilometer di utara
Kiai Fatah jadi pemimpin formal kompleks utama dengan ratusan santri yang tinggal, termasuk mengelola semua jenis pendidikan di lingkungan tersebut, Kiai Masduki hanya mengurusi beberapa belas santri saja, itu pun di waktu mereka tidak bersekolah di kompleks utama.
Kiai Fatah menjadi agamawan penuh, dalam artian tidak memiliki pekerjaan apa pun selain menjadi kiai di pesantrennya. Kiai Masduki adalah petani yang mengerjakan sawahnya sendiri dengan susah payah, dan mengusahakan pekarangan rumah yang di tanaminya dengan tanaman kebun.
Kiai Fatah mengajar di madrasah, menggunakan peralatan sekolah dengan jam pelajaran teratur. Balaghah (retorika) adalah mata pelajaran kesayangannya,juga usul fiqh. Lain dari itu, tidak mau ia mengajarkannya di sekolah. Paling-paling di luar jam sekolah, sebagai pengajian weton yang diikuti para santri tanpa memandang kelas sekolah masing-masing. Semacam kuliah umum atau courses menurut bahasa program puma sarjana di universitas modem.
Kiai Masduki sebaliknya tidak mengajar di kelas. la mengajar di suraunya sendiri, menunggu santri yang akan mengaji kepadanya. Seperti dokter praktek yang menunggu kedatangan pasien.
Siklus kehidupan ini tidak mengenal nilai waktu secara modem, tidak dibatasi oleh pagaran waktu yang umum digunakan di luar. Pengajian siang terhenti kalau kereta api kejurusan
Habis sebuah subyek dibacakan dan diterangkan, sang kiai beralih kepada santri yang lain. Lagi-lagi seperti dokter yang berpraktek. Kalau dokter tidak menampik pasien yang berpenyakit apapun, Kiai Masduki tidak pemah menolak santri yang membawa kitab teks apapun.
Kiai Fatah pandai berpidato, bahkan termasuk orator yang memikat hati. Bermacam-macann ilustrasi sejarah dikemukan untuk menggambarkan pesan yang disampaikan secara hidup. Banyak lelucon diceritakannya untuk mencegah datangnya kantuk para hadirin, dan banyak hafalan ayat AI-Qur'an dan hadith dan syair-syair Arab dilontarkannya untuk meyakinkan orang banyak.
Kiai Masduki, sebaliknya, mungkin tidak pemah berpidato di muka umum seumur hidupnya. Kalaupun 'berperan' dalam majelis-majelis keagamaan di muka umum, paling-paling hanya untuk membacakan doa penutup atau memimpin tahlil. Kiai Fatah sering menggoda dan mempersilakan Kiai Masduki memberikan sambutan. Dan Kiai Masduki akan selamanya menjawab nanti saja, sehabis sampeyan memimpin tahlilan. Maklumlah Kiai Fatah sebagai orang yang tidak pemah urut dan runtut kalau memimpin tahlil.
Perbedaan
Tidak heran kalau keduanya lalu diarahkan jalan pikiran mereka oleh tugas hidup 'menuntut ilmu *itu, watak mereka dibentuk oleh kecintaan kepada ilmu-ilmu agama , dan sikap hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh ilmu-ilmu agama itu sendiri .
Mereka menjadi orang yang tulus dalam mengarungi lautan hidup tulus kepada panggilan hidupnya, tulus kepada orang lain (tidak pemah mengemukakan buruk sangka mereka kepada orang lain) dan tulus kepada kebenaran yang datang dari keputusan yang diambil bersama.
Tidak heranlah jika mereka tidak pemah menyerang pihak lain, berusaha sejauh mungkin tidak menyakiti hati golongan lain, dan lebih-lebih lagi bersikap toleran dalam persoalan yang menyangkut kepentingan umum.
Ya, kebersamaan yang datang dari kesannaan tata nilai dan sikap hidup yang bersumber pada kecintaan mereka kepada ilmu-ilmu agama. Mereka menganggap kesemuanya itu sebagai bagian dari upaya 'menuntut ilmu' yang mereka yakini kebenarannya.
Kiai Fatah telah tiada. Kiai Masduki sudah tua renta (tetapi tetap mengajar, walaupun tidak lagi ke sawah). Dapatkah mereka wariskan pola kehidupan saling berbeda tetapi sama-sama semangat 'menuntut ilmu' itu?